Selasa, 02 April 2013

Relevansi Tasawuf pada Masa Kini


Pada abad kelima Hijriyah Imam Al-Ghazali menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf  kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis  Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz  min Al-Dhalal, sebagai berikut:
Sejak tampilnya Al-Ghazali, pengaruh tasawuf  Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf Al-Ghazali.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathathat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan pada amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, tersingkapnya tirai, dan kesaksian Allah. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari hasil pikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri. Dengan demikian, al-Ghazali menolak sufi falsafi, meskipu dia mau memaafkan al-Hallaj dan Yazid al-Bustami.
Setelah tasawwuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf sunni tersebut, maka pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan denagn tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan tidak juga bisa dikatakan filsafat.
Ibn Khaldun dalam Muqoddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat objek pertama, yaitu :

  1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya.
  2. Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
  3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
  4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathathat).[9]

Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan sekandal melanda dan menghancurkan reputasi baiknya. Tak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dengan tokoh-tokoh sufi dikembangkan, dan massa awam segera menyambut tipu muslihat itu, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. Khurofat dan takhayyul, klenik dan hidup memalukan merupakan jalan mulus menuju ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan.
Bersamaan dengan itu, muncullah pendekar ortodox, Ibn Taimiyah dengan lantang menyerang penyelewangan-penyelewengan tersebut. Ia melancarkan kritik yanng tajam terhadap ajaran Ittihad, Hulul, dan wahdat al-Wujud sebagai ajaran menuju kekufuran (atheisme). Ia lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullahsaw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti thoriqoh-thoriqoh tertentu

Eskatologis dalam Pandangan Islam


Eskatologis dalam Pandangan Islam. Kata ‘eskatologi’ itu sendiri dalam bahasa Inggris berarti cabang ilmu ke Tuhanan yang menyangkut tentang kematian, pengadilan Tuhan, surga dan neraka (Oxford English Dictionary). Dalam bahasa agamanya, kata ini bisa diartikan sebagai hari pembalasan bagi umat manusia dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia atau ‘yaumil akhir’. Dan salah satu esensi ajaran Islam (rukun iman) adalah beriman kepada yaumil akhir ini.

Ide pokok ajaran eskatologi dalam al Qur’an menceritakan akan tiba satu saat dimana setiap manusia memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialami sebelumnya mengenai amal perbuatannya semasa hidup. Dalam al Qur’an banyak ayat yang menggandengkan keimanan kepada Allah SWT dan yaumil akhir. Dan masalah eskatologi inilah yang kemudian menjadi sumber pertentangan dan penolakan bangsa ‘Arab terhadap seruan Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi sebelumnya. Rasulullah SAW tidak mengalami kesulitan ketika memperkenalkan Allah SWT sebagai Tuhan pencipta alam. Sebagaimana gambarkan dalam surah Luqman ayat 25, “ Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?’.Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’. Katakanlah,’ Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tak mengetahui ”.

Akan tetapi ketika Nabi SAW menyampaikan prinsip-prinsip eskatologi, bahwa suatu hari nanti manusia akan dibangkitkan kembali dan diminta pertanggungan jawabnya atas segala perbuatannya di dunia, mereka tidak menerimanya. Sesuatu hal yang mustahil. Menurut mereka, tulang belulang yang telah hancur lebur tidak mungkin akan dibangkitkan dan dihimpun kemudian diminta pertanggungan jawab. Bagi masyarakat ‘Arab, riba (membungakan uang) itu wajar . Hidup dengan berfoya-foya, bersenang-senang dengan cara yang berlebihan adalah penunjukkan jati dirinya sebagai orang yang sukses. Bagi orang kaya dikalangan mereka, tak ada sesuatu yang dipandang hina yang harus dijauhi. Karena dengan membawa sesajen (persembahan), segala dosa dan kejahatan mereka sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan anak apanah (qidh) di depan ‘Hubal’ (tuhan berhala mereka) sebelum ia melakukan suatu tindakan. Tanda yang diberikan anak panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Agar semua dosa dan kejahatan yang dilakukan diampuni, ia cukup menyembelih binatang untuk berhala-berhala itu. Siapapun boleh melakukan pelanggaran, kejahatan, perzinahan, perampokan, perampasan. Tak ada larangan selama mereka mampu menebusnya dengan korban-korban dan penyembelihan.

Sebenarnya penolakan masyarakat ‘Arab jahiliyah terhadap ajaran kebangkitan juga tidak terlepas dari sikap sosial politik dan ekonomi mereka yang despotik (lalim) dan eksploitatif. Sebagai kaum aristokrat dan pemegang aset ekonomi, mereka menjalankan kehidupan dengan segala cara untuk memperkuat kedudukan dalam masyarakat. Mereka menindas dan mengeksploitasi masyarakat jelata, tidak kenal hukum yang membatasi aktivitas mereka.

Dan itupulah sebabnya, ketika Nabi SAW menyampaikan bahwa perbuatan mereka di dunia akan dibalas, mereka membantahnya. Mereka menganggap, ancaman Nabi SAW cuma gertak sambal belaka, untuk mengungkung kebebasan mereka mengumpulkan harta dan kekuasaan. Paham dan ajaran Nabi SAW mereka anggap dapat merusak struktur kekuasaan politik dan ekonomi yang mereka miliki.

Dan kalau kita refleksikan semua itu dengan keadaan bangsa kita sekarang, prilaku masyarakat ‘Arab jahiliyah tak jauh beda dengan prilaku sebagian besar anak bangsa ini. Mereka, meski mengaku beriman kepada Allah SWT dan yaumil akhir, tetapi tak mampu menjabarkan keimanannya itu kedalam kehidupan praktis. Ada suatu keterpisahan antara pemahaman keagamaan dan sikap keseharian. Dari hari ke hari kita menyaksikan berbagai sekandal politik dan ekonomi (kasus Bank Centuri, kasus Adi Condro hilang bigitu saja, harga harga kebutuhan pokok yang melambung, kelangkaan BBM dan Gas, PLN yang sesuka-kanya mematikan aliran, Air Tirtanadi yang hitam menetes-netes. Sedang kasus-kasus sosial, buruh yang terus ditekan dan diperas tenaganya, pendidikan, kesehatan, agama (masalah haji, masjid yang digusur) semuanya hamper tak pernah terselesaikan secara tuntas. Suatu masalah ditutup begitu saja dengan memunculkan masalah baru lainnya, demikian seterusnya, sehingga masyarakat pun merasa apatis, skeptis dan gondok melihat prilaku mereka.

Mungkin yang bisa membedakan antara elit bangsa kita dan masyarakat ‘Arab Jahiliyah, adalah penentangan mereka terhadap ajaran ekskatologis yang bersifat terang-terangan (terbuka). Sedangkan pada kalangan elit bangsa ini, ajaran ekskatalogis, masih diimani, tetapi tidak membekas dalam kehidupan nya. Itu sebabnya kekerasan, korupsi, prilaku politik yang tak sehat-saling sikut, memback up pembalakan hutan, terima suap, memback up perjudian dan pelacuran terselubung, mafia tanah dan perizinan, serta segudang perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang melanggar etika dan moral agama sangat permisif dilakukan.

Jika orang yang benar-benar beriman kepada yaumil akhir tak akan mungkin berani berbuat cela dan hina, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, karena semua itu merupakan amanah. Bagaimana mungkin ia akan menyalahgunakan uang negara, kalau ia yakin uang itu adalah milik rakyat, dan di yaumil akhir nanti rakyat akan menuntut balik hak dan milik mereka. Bagaimana mungkin ia akan bersikap kasar dan kejam terhadap rakyat, kalau ia yakin nanti jutaan rakyat akan menuntut balas atas darah dan kehormatan mereka. Bagaimana mungkin ia berani melakukan tindakan-tindakan kebohongan kepada rakyat pemilihnya, kalau ia yakin dan tertanam dalam hatinya bahwa asekecil apapun perbuatan manusia nanti akan diminta pertanggungan jawabnya. Bagaimana mungkin ia melakukan semua itu kalau ia sadar akan ancaman Allah dengan siksaan api neraka yang maha dahsyat akan menimpa dirinya, dan sebelumnya ia akan mengalami siksa qubur yang akan dideritanya.

Jangan pernah berpikir seperti masyarakat ‘Arab masa Nabi SAW, yang menganggap dapat menebus segala perbuatan dosa dengan pengorbanan dan penyembelihan. Jangan pernah berangan-angan, kalau menyembelih qurban, pergi haji, membangun tempat-tempat ibadah, lalu hapuslah segala dosa. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan, “ al kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’da al maut, wa al ‘aajizu manit-taba’a hawaha wa tamanna ‘alallah al amaani ”./ Orang yang sempurna akalnya ialah orang yang mengkoreksi dirinya dan ber’amal untuk menghadapi mati, sementara orang yang bodoh ialah yang selalu mengikuti keinginannya dan mengharap berbagai macam harapan/angan-angan dari Allah.

Di dunia mungkin orang bisa lari dari peradilan manusia dan menutup-nutupi kesalahan dengan berbagai dalih. Tapi dialam qubur dan diakhirat nanti, semua nya tak dapat dipungkiri. Pada hari itu, mulut sebagai sumber dusta akan dikunci Allah. Yang berbicara adalah tangan, kaki dan pikiran dan seluruh indra manusia. Semuanya bersaksi atas apa yang telah dilakukan seseorang selama hidupnya di dunia, seperti penjelasan ayat pembuka di atas.

Karena itu, orang yang benar-benar beriman terhadap Allah dan hari akhirat pasti akan berusaha menjalankan kehidupannya di dunia dengan baik.
Ibnu Athailah berkata dalam al Hikamnya, ‘Allah merobah-robah keadaanmu dari sedih kegembira, dari sehat kesakit, dari kaya ke miskin, dari terang ke gelap, agar engkau mengerti bahwa engkau tidak bebas dari hukum ketentua Nya’. Wallahu a’lam.

sumber: http://www.waspada.co.id/

Menyikapi Antropomorfis (Musyabihah)

Mutasyabihat merupakan bentuk isim fi’il, berasal dari kata tasyabaha, akar katanya syabiha ditambah dengan huruf ta sebelum fa fi’il, alif setelah fa al-fi’il dan tad’if pada ain al-fi’il, yang berarti samar atau tidak jelas.

Para ahli bahasa menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan persekutuan dalam persamaan yang menyebabkan keruwetan dan kekacauan. Dikatakan tasyabah dan isti’abah atau menyerupai sesuatu dengan yang lain sehingga menjadi samar.

Kata mutasyabih bisa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syibhah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain. Karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak.

Istilah mutasyabihat sebagai lawan kata muhkamat dalam khazanah ilmu tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an, muncul sebagai interpretasi atas Firman Allah pada QS. Al-Imran [3]: 7:

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخرمتشابهات .

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. QS. Ali-Imran [3]: 7.

Secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan mutasyabihat. Al-Suyuti misalnya telah mengemukakan 18 definisi atas makna muhkam dan mutasyabih yang diberikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan sebelas definisi pula yang sebagian dikutip dari al-Suyuti. Di antara pendapat yang dikemukakan al-Zarqani ialah sebagai berikut:

  1. Mutasyabihat ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya.
  2. Mutasyabihat ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna ta’wil.
  3. Mutasyabihat ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya.
  4. Mutasyabihat ialah ayat yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan, kadang-kadang diterangkan dengan ayat-ayat atau keterangan yang lain karena terjadinya perbedaan dalam menta’wilnya.
  5. Mutasyabihat ialah ayat yang seharusnya tidak dijangkau dari segi bahasa, kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya, sepeti lafaz mustarak yang masuk dalam pengertian ini.
  6. Mutasyabihat ialah ayat yang terdiri dari isim (kata-kata benda), musytarak dan lafaz-lafaz mubhamat (samar-samar).
  7. Mutasyabihat ialah ayat yang maknanya tidak kuat, yaitu lafaz mujmal muawwal yang muskil. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Razi.
Abdullah al-Harari (selanjutnya disebut al-Harari) mengemukakan bahwa mutasyabihat secara terminologi ialah dalil-dalil yang pengertiannya belum jelas, serta membutuhkan pemahaman bahasa arab secara mendalam dan juga membutuhkan pengertian makna yang dimaksud dalam pandangan yang khusus serta penalaran makna yang mendalam, dan tidak semua manusia bisa memberikan pembacaan dan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Seperti dalam QS. Taha [20]: 5, lafaz “istawa ”dimaknai dengan “al-qahr” dan “al-Istila”(menguasai dan menundukan).

Masih menurut al-Harari sebagaimana pemahaman ulama salaf, penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna “zahir”ayat tersebut, sehingga metode penafsiran dan pemahaman yang diterapkan ulama salaf terhadap ayat-ayat sifat dengan menggunakan metode ta’wil tafsili dengan mengalihkan makna tekstual, yaitu memaknainya sesuai dengan sifat-sifat keagungan yang dimiliki Allah dan tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya.

Dengan kata lain pengertian mutasyabihat adalah nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang dalam bahasa Arab mempunyai lebih dari satu makna dan tidak dimaknai secara “zahir” (makna tekstual), karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan mahluknya). Akan tetapi wajib dikembalikan maknanya kepada Allah, berbeda dengan ayat-ayat muhkamat yang maknanya sesuai dengan makna zahir, sehingga ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan maknanya kepada Allah untuk menghindari penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya (tasybih)”ليس كمثله شيئ “.

Menurut pemahaman ulama salaf (baca: Ibn ‘Abbas), ayat mengenai”istawa” tidak ditafsirkan “duduk” (jalasa) atau bersemayam dan berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya, tidak pula diartikan Allah duduk dengan makna lain, karena ulama salaf berpendapat, bahwa segala sesuatu yang duduk dan bersemayam termasuk khusus sifat benda. Lafaz istawa, dita’wil ibn ‘Abbas dengan saida amruhu (naik akan perintah-Nya).

Menurut al-Fayyumi, kata istawa dalam bahasa Arab mempunyai lima belas makna, dengan demikian kata istawa dalam al-Qur’an di-ta’wil dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat yang muhkamat. Dari lima belas makna ini yang selaras dengan sifat Allah adalah qahara (menundukkan atau menguasai). Sebagaimana interpretasi Imam ‘Ali RA dalam memaknai lafaz istawa dengan mengatakan: ”Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” .

Penafsiran Qahara (menundukan dan menguasai) dari lafaz istawa adalah pendapat ulama salaf dan khalaf. Penetapan makna ini (qahara) oleh ulama salaf dinilai sesuai dengan sifat Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dan tidak menginterpretasikan makna secara tekstual, serta dengan makna ini dinilai tidak terjebak pada paham Antropomorfisme.

Pengertian lain tentang ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang dapat mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, keluarnya dajjal, tentang surga, neraka dan lain-lain.

Terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat-sifat Allah, para mufassir Salaf meletakkan pentingnya metode ta’wil ijmali yaitu dengan memberi ungkapanيليق به تعالى (dengan pemberian makna yang sesuai dengan keagungan-Nya) sebagai bentuk penyerahan makna pada Tuhan. Namun, di sisi lain ulama salaf juga menggunakan metode ta’wil tafsili yaitu dengan menentukan makna yang sesuai keagungan Allah. Adapun makna ayat-ayat mutasyabihat “yang tidak dapat dipahami” ialah dalam perkara-perkara yang dirahasiakan Allah, seperti kejadian hari kiamat, huruf muqata’ah dan lainnya.

Adapun ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, bukanlah termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya dirahasiakan Allah. Menurut ulama salaf, tidak logis jika sifat-sifat Allah hanya diketahui Allah semata, padahal fungsi Nabi diutus untuk memberikan keterangan dan pemahaman tentang hal yang tidak diketahui umatnya mengenai al-Qur’an tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam al-Qur’an, bahwa kitab ini diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.

Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian mutasyabihat dan penerapan ulama terhadap ta’wil, diketahui bahwa ta’wil sudah berkembang sejak masa sahabat, seperti yang dipraktikkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Abbas, hal ini sesuai dengan do’a Nabi atas ‘Abdullah ibn ‘Abbas “) “اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويلYa Allah pandaikanlah dia dalam urusan agama dan ajarilah dia tentang ta’wil). Karena inilah ibn ‘Abbas dikenal sebagai sahabat pertama dalam hal ta’wil dan dia sendiri mengomentari dirinya dengan:”انا من الرا سخين في العلم”. Karakteristik dan aplikasinya dalam penafsiran diikuti oleh generasi-generasi setelahnya.

Lingkup Pembahasan Ayat-ayat Mutasyabihat Tentang Sifat Allah.
Dalam al-Qur’an atau Hadis banyak nas-nas yang mengandung pengertian sifat-sifat Tuhan, seperti lafaz “al-wajh” disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua belas kali. Penyebutan kenyataan bahwa “Dia berbicara/ mengatakan….”muncul lebih dari lima kali, penyebutan bahwa seseorang atau sesuatu “berada dalam pengawasan-Nya” terjadi sebanyak lima kali. Allah sebagai Sami (Maha Mendengar) disebutkan lebih dari empat puluh kali dan Basir (Maha Melihat) juga lebih dari empat puluh kali. Wajah orang-orang yang takwa akan memperoleh kebahagian karena dapat memandang-Nya di akhirat kelak. Seringnya penyebutan ini mengangkat makna penting subyek, dan ungkapan-ungkapan seperti ini memperteguh keberadaan sifat-sifat itu pada Dzat Allah.

Kajian mengenai ayat-ayat sifat Allah, baik yang lahir dari ayat-ayat muhkamat maupun mutasyabihat, selalu menjadi perdebatan oleh para teolog (Mu’tazilah, Musyabbihah, Ahlussunnah) dalam memahami sifat Allah pada ayat-ayat tentang sifat tersebut. Mayoritas ulama mempertahankan keabsolutan sifat-sifat qadim Allah, seperti Mengetahui, Berkuasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Maha Menerima pujian, Maha Pemberi, Maha Pemurah, dan Maha gagah. Sedangkan pada bagian lain tidak menetapkan pemahaman tentang sifat sebagaimana makna literal dalam ayat-ayat sifat Tuhan, seperti “dua tangan dan “wajah”. Dari sinilah lahir pembahasan terhadap ayat-ayat Mutasyabihat tentang sifat, seperti ketika mengatakan bahwa tangan Allah ada di atas tangan orang-orang yang membaiat Nabi Muhammad SAW, secara literal ayat ini bermakna bahwa Tuhan mempunyai tangan, padahal mustahil Tuhan mempunyai tangan. Interpretasi yang diberikan ulama Salaf bukanlah dengan tangan seperti makna literal lafaz “al-yad”, tetapi lafaz “al-yad”di-ta’wil dengan perjanjian atau kekuasaan yang harus disikapi sebagai kepatuhan kepada Tuhan, dan akan sangat logis bila lafaz “al-yad” mempunyai makna yang sifatnya transendental. Seperti juga lafaz “istawa”, secara lahiriyah ia bermakna “bersemayam”, ulama Salaf melakukan ta’wil guna memahami kandungan ayat tersebut. Di sini, lafaz “istawa” dita’wil sebagai sifat kekuasaan-Nya.

Selanjutnya, Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani memberikan pengertian terhadap makna “al-Sifat”, adalah sifat yang wajib adanya bagi Tuhan, seperti kalangan ulama salaf mereka menetapkan adanya sifat Allah yang azali dari sifat: “al-Ilm, al-qudrah, al-Hayat, al-Iradah, al-Sama, al-Basar, al-Kalam, al-Jalal, al-Ikram, al-Jad, al-In’am, al-Izzah, al-Uzmah”. Mereka juga tidak membedakan antara sifat-sifat zat (esensi) dan sifat-sifat al-fi’il (operatif), tetapi mereka menempuhnya dengan cara yang sama, begitu juga menetapkan “al-sifat al-Khabariyah” seperti lafaz”al-Yadain” dan “al-Wajh”. Dengan hal ini mereka sebagian tidak merincinya, tetapi menetapkan sesuatu yang tersirat dalam al-Qur’an, dan mereka menyebutnya sebagai sifat-sifat yang diwahyukan atau dinamakan sebagai “al-sifat al-khabariyyah”.

Penyerupaan Allah dengan mahluk sebenarnya sudah tertolak dengan penolakan pengertian adanya anggota badan bagi Allah dari ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung pengertian sifat Allah, sedangkan yang menjadi dasar pendapat para teolog tersebut biasanya dikutip saat menolak pendapat kaum Antropomorfis.

ليس كمثله شئ وهو السميع البصير ( الشورى 11)

Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS al-Syura:11).

Ayat di atas merangkum semua isu sentral yang banyak dibahas dalam karya-karya teologi Islam.”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” menetapkan Allah sebagai yang Unik dan berada dari semua mahluk.” Dia bukanlah sebuah substansi (jawhar), kesatuan unsur (jism), atau aksiden (arad), tidak bertempat, atau berada dalam waktu. Dia-lah yang Awal dan tak ada sesuatu sebelum Dia yang Akhir dan tak ada sesuatu yang bisa dikatakan muncul setelah Dia”. Ungkapan ini seperti dikatakan sayf al-Din al-Amidi (w.631 H) dalam bab tentang penolakan atas Antropomorfisme, ibtal al-tasybih dalam bukunya Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam. Jisim, jawhar dan ard adalah tiga bagian wujud yang diciptakan oleh Allah, ketiganya bersifat baru (muhdas\at), sehingga mustahil Allah menyerupai ketiganya.

Pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat sifat cukup beragam. Secara garis besar interpretasi menyikapi sifat-sifat Allah terbagi dalam tiga pemahaman dengan tiga golongan yang mewakilinya. Yaitu:
  1. Komunitas yang menolak sifat-sifat Allah, nafi al-sifat, atas dasar bahwa sifat-sifat itu akan mengurangi keesaan-Nya. Inilah pendapat kaum Mu’tazilah yang oleh para penentangnya dijuluki sebagai ta’til.
  2. Pendapat kaum Antropomorfis yang terkenal sebagai tasbih/tajsim.
  3. Pendapat orang-orang yang mengambil jalan tengah yang diwakili oleh ahl al-Hadis (yakni mereka yang menjadikan Hadis Nabi sebagai dasar argumen) dan kaum Asy’ariyah.
Kaum Antropomorfis memaknai ayat-ayat sifat secara literal sebagaimana adanya, seperti sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat merupakan dua sifat yang bisa membawa kepada paham Antropomorfisme. Kaum Mu’tazilah menolak sifat-sifat (nafi al-Sifat), dan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang selain esensinya, dan bahwa al-Sami’ dan al-Basir merupakan nama-nama Allah seperti halnya al-Rahman dan al-Rahim.. Kaum Asy’ariyah menegaskan adanya keberadaan sifat-sifat, dan berbeda dengan pendapat kaum Antropomorfisme, mereka tetap berada dalam prinsip”tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”dan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan hanya layak untuknya saja, dan bukanlah seperti sifat mahluk-mahluk-Nya: Pendengaran-Nya tidak seperti pendengaran mereka dan Penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan mereka.

Sedangkan mengenai ungkapan-ungkapan yang melibatkan Wajah Allah, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Wajah Allah mengandung arti Allah sendiri (berbeda dengan Antropomorfis yang menyatakan sebagai wajah fisik Tuhan), mengingat sudah lazim dalam bahasa Arab penggunaan kata “wajah” dengan maksud orang yang bersangkutan. Sebaliknya, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa Dia sungguh-sungguh memiliki wajah, bahwa wajah-Nya, merupakan sebuah sifat yang bertalian dengan esensi-Nya, sifat Dzat. Berdasarkan prinsip tanzih/mukhalafat li al-Hawadis\ bahwa “tidak ada sesuatu yang berlaku bagi mahluk yang boleh dinisbatkan kepada Allah dalam pengertian yang sama. Kaum Asy’ariyah, berbeda dengan kaum Mu’tazilah menganggap bahwa mereka tidak menyimpangkan makna dalam ungkapan al-Qur’an, sehingga juga tidak seperti kaum Musyabbihah, mereka tidak terjerumus ke dalam bahaya antropomorfisme.

Asy’ariyah dalam memberikan interpretasi menyimpulkan pendapat ahl al-Hadis yang menyatakan: “Kami tidak mempunyai pendapat apapun mengenai hal ini kecuali apa yang telah difirmankan Allah yang Maha kuasa dan apa yang disabdakan oleh Nabi, karena itu kami katakan: Dia betul-betul memiliki wajah, tanpa memberikan perinciannya”.

Dari beberapa pernyataan tentang sifat Tuhan dan interpretasinya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, peneliti merangkum, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabihat mempunyai paham terhadap adanya sifat Tuhan, seperti Ahlusunnah secara umum percaya kepada adanya sifat-sifat Tuhan tanpa merinci bagaimana, dan pendapat kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Khawarij yang menolak sifat-sifat Tuhan. Pemahaman ketiga golongan tersebut berbeda antar satu golongan dengan golongan yang lain, tergantung pembacaan mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis.

Pengaruh Mutasyabih At al-Sifat terhadap Perkembangan Firqah-firqah dalam Islam
Pemahaman yang beragam pada ayat-ayat sifat merupakan salah satu pemicu munculnya perpecahan dalam Islam, di samping pertikaian yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah ‘Us\man ibn ‘Affan yang berujung pada pada pertikaian antara Muawiyah dan ‘Ali ibn Abi Talib. Perpecahan itu memunculkan firqah-firqah dalam sejarah Islam. Muncul pertentangan dan perdebatan di antaranya: Mu’tazilah dengan konsepnya peniadaaan sifat-sifat Tuhan. Dengan mempertahankan satu atribut tentang kemahaesaan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan adalah Maha Esa dan Maha adil. Dalam usaha memurnikan paham keesaan Tuhan, mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik atau politeisme. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat banyak unsur, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur yang melekat kepada zat. Dan bila Tuhan dikatakan mempunyai 20 sifat, maka Tuhan akan tersusun dari 21 unsur, bila 40 sifat, maka unsur-Nya akan berjumlah 41 dan bila dikatakan Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang Qadim, sedang menurut Mu’tazilah dalam paham teologi, Qadim itu esa. Apabila Iman dalam ajaran biasa ialah: Tiada Tuhan selain Allah, maka iman dalam bahasa teologi mengambil bentuk: Tiada yang Qadim selain dari Allah. Jika sifat-sifat itu Qadim, maka secara tidak langsung sifat-sifat itu adalah sekutu Allah. Paham ini akan membawa kepada syirik, dan menurutnya syirik dalam Islam adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Tuhan.

Untuk mengatasi paham syirik inilah, maka Wasil mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini tidak berarti bahwa Wasil dan pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir dan sebagainya seperti halnya Ahlussunnah dan Musyabbihah, mereka menerima kebenaran ayat-ayat itu sebagaimana kebenaran seluruh ayat lainnya. Bagi Mu’tazilah, al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir, al-Al pemuka kedua Mu’tazilah: Tuhan Maha Tahu dengan pengetahuan dan pengetahuan Tuhan adalah zat-Nya.

Mengenai teks al-Qur’an, menurut Mu’tazilah tidak selamanya mesti dimaknai secara literal. Ayat-ayat al-Qur’an di samping mengandung arti harfiah, juga mengandung arti metaforis. Selanjutnya mereka berkeyakinan bahwa antara pendapat akal yang benar dan wahyu tidak ada pertentangan. Karena, apabila arti secara lafaz ditinggalkan dan diambil arti majazi atau metaforis, maka pertentangan yang ada akan hilang dengan sendirinya. Perumpamaan mereka ditujukan kepada teks al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tangan dan kursi, sedangkan akal berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tangan dan kursi, karena Tuhan tidak berbentuk jasmani dan sebagainya. Dengan demikian mereka mengambil arti metaforis, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Dari uraian di atas diketahui sebenarnya Mu’tazilah mempraktekan ta’wil, hanya saja cara menjelaskan tentang sifat dan zat berbeda. Praktik penta’wilan mereka adalah dengan pemakaian makna metaforis terhadap ayat-ayat yang ambigu (mutasyabihat).

Ketika pemahaman Mu’tazilah tentang sifat Tuhan sudah terbentuk, muncul kelompok ekstrem dari kalangan Syi’ah, yaitu golongan Muhaddis, golongan Haswiyyah, mengakui paham Antropomorfisme yang merupakan paham yang sangat kontra dengan paham Mu’tazilah. Menurut mereka Tuhan memiliki bentuk dan mempunyai anggota tubuh dan bagian-bagian yang bisa bersifat spritual maupun fisik, sehingga memungkinkan bagi Tuhan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, turun-naik, tetap atau benar-benar duduk. Hal ini diriwayatkan olah Asy’ari berdasarkan otoritas (informasi berita dari) Muhammad ibn Isa bahwa Mudar, Kuhmus, dan Ahmad al-Hujaimi memperkenalkan kemungkinan manusia menyentuh Tuhan dan menjabat tangan-Nya di dunia maupun di akhirat, asal saja dalam ikhtiar spritual, mereka mencapai sebuah tingkatan kesucian hati yang memadai serta penyatuan yang murni dengan Tuhan. Ka’bi meriwayatkan bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, bahkan dalam kehidupan ini, dan bahwa Tuhan dengan manusia bisa saling menziarahi. Pemahaman-pemahaman yang muncul ini merupakan implikasi dari pemahaman ayat-ayat sifat Tuhan. Lebih ekstrem lagi ketika Dawud al-Jawaribi diberitakan telah mengatakan:

“Jangan engkau tanyakan kepadaku tentang kelamin wanita atau janggut, tetapi engkau boleh menanyaiku tentang sesuatu yang lain. Ia juga mengatakan Tuhan adalah jisim, daging, dan darah. Dia mempunyai anggota tubuh, seperti dua tangan dan dua kaki, kepala dan lidah, dua mata dan dua telinga, meskipun demikian, Dia adalah sebuah jisim yang berbeda dengan jisim-jisim yang lainnya, daging yang berbeda dengan daging lainnya, dan darah yang berbeda dengan darah lainnya. Demikian pada sifat-sifatnya yang lain. Dia tidak menyerupai mahluk apa pun, demikian pula mahluk tersebut tidak menyerupainya. Ia juga mengatakan Tuhan adalah lembah dari atas hingga dada-Nya, sedangkan sisa dari-Nya adalah tanah juga. Dia memiliki rambut yang panjang, hitam dan ikal”.

Sedangkan mengenai lafaz-lafaz dalam al-Qur’an (mutasyabih ayat al-sifat) seperti istawa (bersemayam), wajh (wajah), yadain (dua tangan), janb (sisi), maji (datang), ityan (datang), fauqiyah (berada di atas) dan sejenisnya dipahami oleh golongan Musyabbihah secara literal, yaitu sebagaimana kata-kata tersebut dipahami ketika digunakan dalam konteks jisim. Demikian pula kata-kata yang ditemukan dalam hadis, seperti surah (bentuk) dalam sabda Nabi “Adam diciptakan dalam bentuk Tuhan yang Maha pengasih”, Tuhan membentuk tanah liat Adam dengan tangan-Nya selama empat puluh hari”, “Tuhan meletakkan tangan-Nya atau telapak tangan-Nya di bahuku”, “Sampai aku merasakan dinginnya jemari tangan-Nya di bahuku. “Kalimat-kalimat di atas mereka pahami secara literal sebagaimana pemahama mereka tentang jisim.

Al-Syahrastani berpendapat, bahwa interpretasi Musyabbihah telah menciptakan kebohongan dan menghadirkan hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi umumnya hadis-hadis itu diambil dari orang-orang Yahudi, di mana Antropomorfisme dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Mereka lebih jauh mengatakan bahwa kedua mata Tuhan sakit dan para Malaikat datang menghibur-Nya bahwa Dia menangisi banjir Nuh hingga matanya menjadi merah bahwa Arsy di bawah-Nya berbunyi seperti sadel baru di atas unta. Golongan Musyabbihah juga meriwayatkan bahwa Nabi bersabda,” Tuhan menemuiku, berjabat tangan denganku, bergumul denganku, dan meletakkan tangan-Nya di antara pundaku hingga aku merasakan dingin jemari tangan-Nya”.

Doktrin lain dari interpretasi Musyabbihah, mereka berkeyakinan bahwa suku kata, suara dan karakter yang tertulis dari al-Qur’an semua sudah ada sebelumnya (pre-eksis) dan bersifat Qadim-azali. Menurut mereka sebuah ucapan yang tidak tersusun melalui huruf-huruf atau kata-kata tidak bisa dipahami. Untuk mendukung pendapat ini, mereka menggunakan hadis-hadis, misalkan mereka mengutip sebuah sabda bahwa Musa biasa mendengar perkataan-perkataan Allah yang mirip dengan suara rantai yang diseret. Mereka juga mempertahankan bahwa umat Islam terdahulu percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak diciptakan dan bahwa barang siapa yang mengatakan bahwa kitab tersebut diciptakan, berarti ia tidak beriman kepada Allah. Dari beberapa interpretasi ayat-ayat sifat, kaum Musyabbihah memberikan pengaruh sangat signifikan, sehingga interpretasi terhadap ayat-ayat sifat (mutasyabih ayat al-sifat) secara literal lebih dominan dengan dalil dari Hadis yang dijadikan sebagai alat nalar dalam nuansa eksegesisnya.

Hal ini berbeda ini dengan Ahlussunnah (selanjutnya disebut Asy’ariyah) yang menggambarkan manusia mempunyai tingkatan dalam menginterpretasi tentang diri dan penciptanya. Ketika manusia belum mengenal siapa diri dan Tuhannya, tentu dia akan mencoba menginterpretasi secara bertahap. Pertama ia akan mengenal dirinya setelah itu ia akan mencoba mencari siapa pencipta mereka. Setelah melalui perenungan mereka berpendapat bahwa penciptaan dilakukan oleh suatu zat yang di luar dirinya, yang Maha Pengasih, Maha Memberi, Maha kuasa, serta sifat-sifat Maha lainya. Dan zat itu mereka sebut dengan Tuhan. Oleh karena Tuhan (Allah) dapat dikenali dari tindakan-tindakan yang merupakan penjelmaan dari sifatnya sifat-sifat ini tidak dapat ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukkan bahwa Dia Maha Pengasih, Mahakuasa dan Maha Berkehendak.

Oleh karena itu, Asy’ariyah mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang bisa dikenal dari tindakan-tindakan-Nya: sifat-sifat ini tidak bisa ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan Maha Berkehendak, demikian pula tindakan-tindakan itu menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan berkehendak. Menurutnya pula, tidak ada perbedaan dalam hal keabsahan mengenai apa yang disimpulkan, apakah ia manifes atau tersembunyi. Lagi pula, “Yang Maha Mengetahui” sebagaimana yang dilekatkan pada Tuhan, pada kenyataanya, tidak memiliki arti selain bahwa Dia memiliki pengetahuan “Yang Mahakuasa” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki kekuasaan “Yang Maha Berkehendak” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki berkehendak. Dengan demikian, melalui pengetahuan lahirlah keteratuaran dan kesempurnaan melalui kekuasaan, segala sesuatu muncul dan berwujud melalui kehendak, lahirlah ketentuan masa, ukuran dan bentuk. Manakala sifat-sifat ini dianggap berasal dari zat, maka sifat-sifat itu tidak dapat dipertimbangkan, kecuali apabila dikatakan bahwa zat tersebut ” hidup” dengan “kehidupan”.

Golongan Asy’ariyah merupakan para pengikut Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, seorang keturunan Abu Musa al-Asy’ari. Abu Hasan mengatakan, bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, berkuasa dengan kekuasaan-Nya, dan melihat dengan penglihatan-Nya. Asy’ariyah berpegangan pada pandangan bahwa setiap maujud dapat dilihat, sebab kemaujudanlah yang membuat sesuatu bisa terlihat. Allah itu maujud. Oleh karena itu, Dia dapat dilihat. Mereka juga mengetahui dari wahyu, bahwa orang-orang yang beriman akan melihat-Nya di hari kemudian sebagaimana firman Allah: “wajah-wajah orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nyalah mereka melihat” Demikian pula, ayat-ayat dan hadis-hadis yang serupa mengenai melihatnya Allah diinterpretasikan dengan tidak memerlukan arah, tempat, bentuk, atau berhadap-hadapan apakah dengan tabrakan sinar atau kesan, semuanya tidak mungkin.

Ada dua pandangan yang diriwayatkan Asy’ariyah perihal sifat dasar dari penglihatan terhadap Allah. Pertama, pandangan ini merupakan sebuah jenis pengetahuan yang istimewa dalam pengertian bahwa ia lebih berkaitan dengan yang eksis daripada yang non eksis kedua, merupakan sebuah persepsi di luar pengetahuan, yang tidak menuntut sebuah efek terhadap benda yang dipersepsikan, tidak pula sebuah efek yang berasal darinya. Asy’ariyah juga mempertahankan bahwa mendengar, melihat adalah dua sifat Allah yang qadim. Tetapi ada juga persepsi yang berada diluar pengetahuan, yang berhubungan dengan objek-objek mereka yang sebenarnya, asal saja objek-objek tersebut eksis.

As’ariyah berpegang bahwa dua tangan dan wajah adalah sifat-sifat yang diberitahukan dari Allah karena, sebagaimana ia jelaskan, wahyu bertutur mengenai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut harus diterima sebagaimana adanya. Asy’ariyah mengikuti umat Islam generasi awal (salaf) yang tidak berusaha menafsirkan sifat-sifat tersebut (tafwid, taslim), meskipun, menurut satu pendapat yang diriwayatkan, mereka memperkenalkan penafsiran. Sebagaimana Ahmad ibn Hanbal, Dawud ibn ‘Ali al-Asfahani yang mengikuti para Muhaddis awal, seperti Malik ibn Anas dan Muqatil ibn Sulaiman. Penerimaan terhadap sifat-sifat Tuhan pada ayat yang ambigu mereka katakan:

“Kami beriman dengan segala apa yang diberitakan di dalam Kitab dan sunnah, dan kami tidak mencoba untuk menafsirkannya, mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak menyerupai mahluk apa pun, dan bahwa semua pencitraan yang kami bentuk mengenai Dia diciptakan oleh-Nya dan dibentuk oleh-Nya. Dan sebaiknya kita katakan sebagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki dasar pengetahuan, “semuanya berasal dari Tuhan kami” kami beriman dengan apa yang difirmankan secara literal dan kami juga beriman dengan maknanya yang tersembunyi, tetapi kami meninggalkan pengetahuan mengenainya kepada Allah kami tidak wajib mengetahui sebab ia bukan salah satu dari syarat iman, juga bukan merupakan salah satu dari unsur-unur dasarnya”.

Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, bahwa perbedaan yang terjadi sebagaimana pemaparan di atas merupakan aplikasi pemahaman yang berbeda terhadap ayat-ayat sifat, sehingga melahirkan firqah-firqah dalam Islam. Sebagaimana penulis gambarkan, terdapat tiga aliran yang sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman terhadap ayat-ayat sifat, yaitu Mu’tazilah yang berbeda dengan Ahlussunnah dan keduanya berbeda pula dengan Musyabbihah. Pemahaman-pemahaman yang diuraikan di atas, merupakan wacana yang berkembang dalam khazanah keislaman yang sangat mungkin dikritisi lebih lanjut, karena percaturan dalam teologi Islam–terutama dalam kajian ayat-ayat tentang sifat Tuhan–mempunyai banyak masalah yang harus dilihat secara objektif.

Antara Kemahakuasaan dan Keadilan Tuhan


Artikel kita kali ini adalah tentang kemahakuasaan dan keadilan Allah SWT, yang selalu menjadi perdebatan diantara para teolog. Perlu diluruskan terdahulu bahwa kemahakuasaan dan keadilan Allah itu  mutlak adanya ; tidak perlu diragukan ragi.
Allah SWT telah dengan tegas menyatakan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat, sebagaimana dalam Firman-Nya: ”katakanlah: Tuhanku memerintahkan supaya kamu dapat berbuat adil” (Al-Qur’an 7:29), dan menurut al-Qur’an taqwa tidak dapat dilepaskan atau dekat dengan keadilan ” Berlakulah adil, dan iti lebih dekat pada taqwa” QS.5:8. Arti taqwa dalam Islam tidak hanya menjalankan ibadah saja. Tanpa keadilan sosial rtidak ada ketaqwaan. Dan dalam bidang sosial ‘adl dan ahsan merupakan konsep-konsep pokok dalam al-Qur’an.

Perdebatan tentang teologi keadilan Tuhan ini dipelopori oleh dua madzhab Teologi;  – madzhab wahyu dan madzhab akal budi yang di pelopori oleh kaum Qodariyah dan jabariah yang terlibat dari sejak periode awal pemerintahan Bani Ummayah dalam suatu perdebatan mengenai kemampuan manusia  menciptakan kemammpuan-kemampuan-nya, tetapi perhatian utama mereka pada hakikat-nya adalah politik dan bukan teologis dalam pengertian istilah yang kaku. Perdebabtan antara Neo-Qodariyah dan neo-Jabariah dari generasi berikut-nya menampakkan suatu tingkat sofistikasi yang lebih tinggi dan beermula untuk konsentrasi pada hakikat keadilan. Apakah hal itu sebagai pernyataan dari kemahakuasaan Allah SWT atau keadilan yang Inheren dalam diri-nya dan bagaimana direalisasikan dalam muka bumi walau perdebatan tentang keadilan ppolitik sama sekali tiddak berakhir, aspek-aspek lain teologis atau lain-lain-nya mengobarkan keheebhohan yang lebih besaar telah merefleksikan perhatian publik terhadap dampak aliran-aliran pemikiran baru yang mulai mempengaruhi masyarakat Islam.
Berlalunya keimamahan dari kekuasaan Bani Umayah ke Tampok kekuasaan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H./750 M. menganntar suatu era baru di mana suatu rezim yang relative stabil dan lebih langsung didirikan kembali. Khawariij yang menentang legimitasi Abbasiyah surut dan pada akhirnya lenyap, sekalipun demikian keadilan politik diteguhkaan kembali oleh lawan-lawan-nya klaim kaum syi’ah terhadap keimamaan atas dasar keanggotaan dalam ahlul bait kehilangan banyak makna.

Keadilan sebagai pernyataan akal budi, yang mana kaum mu'tazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai pendukung keadilan dan tauhid membawa tradisi kaum khawarij dan kaum qodariah bahwa manusia adalah pencipta perbuatan-perbuatan-nya sendiri adil dan tidak adil, karena ia akan diganjar atau dihukum di akhirat nanti. Kaum Qodariah dan Jabariyah pertama-tama sependapat atas premis bahwa keadilan itu bersifat ketuhanan, namun demikian mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana keadilan bersifat ketuhanan itu seharusnya direalisasikan di muka bumi

Hasan Al-Basri yang menyatakan bahwa perbuatan baik dari tuhan dan perbuatan buruk dari manusia.
Kaum mu’tazilah menolak kedua doktrin predistinasi Imam Hasa Al-Basri dan penerimaan sebagian pertanggungjawaban manusia. Semua para teolog sepakat bahwa keadilan ilahi itu sempurna, abadi dan ideal, bagi kaum Jabariah keadilan merupakan suatu pernyataan dari kehendak Ilahi dan semua perbuatan manusia, dengan mengabaikan keadilan di nyatakan sebagai suatu kebenaran olehnya. Betapapun Mu’tazilah berpendapat bahwa keadilan merupakan sebagai suatu pernyataan dari esensi Allah dan bahwa dia hanya melakukan yang terbaik bagi manusia. Allah pada hakikatnya tidak melakukan ketidakadilan. Manusia selalu berusaha untuk merialisasikan keadilan Ilahi di muka bumi akan tetapi ia dapat melakukan hal itu hanya dengan sarana akal budi.

Sementara itu Kaum Mu’tazilah mendatangkan kegusaran dan antagonisme pada semua kelompok dari permulaan hingga akhir dalam mencari suatu doktrin keadilan yang koheren dan rasional. Mereka sepakat dengan para teolog lain dengan doktrin keesaan dan kedilan merupakan dua doktrin utama. kaum mu’tazilah tidak sepakat tentang beberapa persoalan.

Ahmad bin Hambal (w.241H/855M.) seorang ahli hadits dan pendiri suatu madzhab hukum muncul sebagai lawan ajaran-ajaran Mu’tazilah yang paling tangguh dan seorang pahlawan yang memperjuangkan kredo para pendukung sunnah atupun paham Sunni. Ia menolak untuk menerima doktrin kreasi (penciptaan) al-Qur’an dan membantahnya bahwa tidak ada bukti bahwa dalam teks al-Qur’an diciptakan (makhluk) ia pun menolak akal budi sebagai metode

Asy’ariah adalah serang pengikut al-jubai tokoh mu’tazilah sebagai seorang peneliti (mhasiswa) teologi yang inkuitif dan kritis, Asy’ari sering mengunjungi beberapa pusat ilmu pengetahuan lainya dan diungkapkan kepada mereka aliran-aliran pemikiran berbeda yang menyeret mereka tenggelam ke dalam konflik dengan gurunya. Sebagai seseorang  yang terdidik ia lebih mampu memimpin suatu gerakan yang menegaskan kembali pada sunnah.

Kita dapat mengambil benang merah dari sekian perdebatan teolog di atas yang diwarnai dengan dorongan politis bahwa Kemahakuasaan dan Keadilan Allah SWT itu mutlak adanya dan tak dapat terbantahkan, juga susah untuk dilogikakan, Kaum Muslim harus menerimanya dengan Ketauhidan yang sebenarnya tidak perlu akal ikut campur di dalamnya.

Mudah-mudahan kita semakin haqul yakin akan kemahakuasaan Allah SWT.

Munculnya Firqah dalam Islam dan cara menyikapinya


Bahasan ini mengenai Munculnya Firqah-Firqah dalam Islam serta cara akal kita menyikapinya. Uraian akan dimulai dari sebuah pernyataan bahwa Islam itu sesungguhnya hanya satu, sebagai agama yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dengan kesempurnaan yang mutlak, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S Al-Maidah ayat 3: "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu."(Al-Maidah:3)

Islam telah menjawab semua problematika kehidupan manusia dari berbagai segi. Tetapi kini sedikit sekali orang yang mengetahui dan meyakini kesempurnaannya.Ini sesungguhnya adalah sebagai akibat pengkaburan Islam dari wajah aslinya oleh debu dan polusi bid'ah, sehingga mayoritas umat Islam amat rancu permasalahannya terhadap agamanya.

Allah Ta'ala berfirman : "Barangsiapa yang menyimpang dari rasul setelah terang padanya petunjuk itu, dan mengikuti jalannya selain mukminin, Kami akan gabungkan dia dengan orang-orang sesat dan Kami masukkan dia ke neraka Jahannam."(An-Nissa:115). Islam itu sendiri adalah Jama'ah (satu kesatuan) dan yang menyimpang dari padanya adalah firqah (perpecahan).

Allah berfiman : "Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Islam ini dan jangan kalian berpecah belah dari agama ini…"(Ali Imran:102) Sedangkan firqah itu tidak lain disebabkan oleh adanya orang-orang yang mengikut perkara syubhat (rancu) dalam agama ini dan mengekor kepada hawa nafsu.

"Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (syubhat dan hawa nafsu), niscaya bila kamu ikut jalan-jalan itu akan menyimpangkan kalian dari jalan Allah."(Al-An'am:153). Menyeleweng dari jalan Islam itu berarti menyimpang pula dari Al-Jama'ah, dan sekarang ini orang mengistilahkan dengan Islam sempalan, dalam pengertian sebagai aliran pemahaman Islam yang sesat.

Banyaknya firqah-firqah disebabkan karena bid'ah itu telah melahirkan sekian banyak kesesatan. Dengan tegas Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh-sungguh akan datang atas umatku sebagaimana yang telah datang pada Bani Israil, sebagaimana sepasang sandal yang sama ukurannya, sehingga kalau dulunya pernah ada di kalangan Bani Israil yang menzinai ibunya terang-terangan niscaya akan ada di umatku ini yang melakukan demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.
Para shahabat bertanya:"Siapakah mereka yang selamat itu ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "Yaitu golongan yang mengikuti jalan hidupku dan jalan hidup para shahabatku."(HR Tirmidzi, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Al-Jami':5343)

Dalam hadits ini ditegaskan bahwa umat Islam akan tercerai berai menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu golongan. Dan yang dikatakan selamat disini ialah selamat di dunia dan selamat di akhirat dari api neraka. Satu golongan yang tetap istiqomah ini berpegang dengan Al-Jama'ah sedangkan yang lainnya menyempal dari Al-Jama'ah sehingga sesat dan celaka. Mereka ini sesungguhnya yang dinamakan Islam sempalan.
Para ulama telah banyak menulis buku-buku yang menguraikan berbagai golongan Islam sempalan ini dengan merinci satu persatu masing-masing pemahaman syahwatnya, agar umat Islam waspada dari bahaya kesesatan itu. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang menulis buku-buku tentang Islam sempalan ini ialah Al-Imam Ibnul Jauzy Al-Baghdadi dengan bukunya yang masyhur berjudul Talbis Iblis dalam satu jilid tebal.
Beliau menerangkan: "Sesungguhnya kita ahlus sunnah telah tahu adanya Islam sempalan dan pokok-pokok berbagai golongannya, dan sungguh setiap golongan dari mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Walaupun kita tidak mampu mengidentifikasi seluruh nama-nama golongan dan madzhab-madzhabnya, akan tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa induk-induk golongan ini ialah :
1. Al-Haruriyyah
2. Al-Qodariyyah
3. Al-Jahmiyyah
4. Al-Murji'ah
5. Ar-Rafidhah
6. Al-Jabriyyah

Sungguh para ulama telah menyatakan bahwa pokok berbagai sempalan yang sesat adalah enam aliran sempalan ini. Setiap aliran daripadanya terpecah menjadi dua belas aliran sehingga seluruhnya menjadi tujuh puluh dua aliran."
Demikian Ibnul Jauzy menerangkan dalam Talbis Iblis karya beliau halaman 18-19 cet. Tahun 1347 H/1928 M Darut Thiba'ah Al-Muniriyyah.

Keterangan Tentang Keenam Pokok Aliran Sempalan :
1. Al-Haruriyyah
Ialah pemahaman kaum Khawarij yang mempunyai pemahaman sesat dalam perkara:
a. Mengkafirkan Sayyidinna Ali bin Abi Thalib karena mau berdamai dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan.
b. Mengkafirkan Ustman bin Affan karena dianggap membikin pelanggaran-pelanggaran selama pemerintahannya.
c. Mengkafirkan orang-orang yang ikut dalam perang Jamal (unta), yaitu ummul mukminin Aisyah, Tholhah, Zubair bin Al-Awwam, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Zubair dan segenap tentara yang terlibat dalam pertempuran.
d. Mengkafirkan orang-orang yang terlibat dalam upaya perundingan damai antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sofyan. Juga mengkafirkan semua pihak yang terlibat dalam perundingan damai antara Al-Hasan bin Ali bin Abu Tholib dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan sepeninggal Ali bin Abi Thalib. Mreka mengkafirkan semua orang pula yang ridha dan membenarkan dua upaya perdamaian di atas atau salah satunya.
e. Memberontak kepada pemerintahan muslimin yang berbuat dhalim karena pemerintahan tersebut dianggap kafir dengan perbuatan dhalimnya.
f. Menfkafirkan orang Islam yang berbuat dosa apapun.

2. Al-Qodariyyah
Ialah pemahaman sesat yang mengingkari rukun iman yang ke enam, yaitu takdir Allah Ta'ala. Mereka mengatakan bahwa perbutan manusia ini adalah murni semata-mata dari perbuatan manusia sendiri dan tidak ada hubungannya dengan kehendak dan takdir Allah.

3. Al-Jahmiyyah
Ialah pemahaman sesat yang menginginkan adanya sifat-sifat kemuliaan bagi Allah dan mengingkari nama-nama kemuliaan bagi-Nya.

4. Al-Murji'ah
Ialah peahaman sesat yang mengingkari hubungan antara iman dengan amal, dalam artian iman itu tidak bertambah dengan amalan shalih dn tidak pula berkurang dengan kemaksiatan sehingga imannya Nabi sama dengan imannya penjahat sekalipun.

5. Ar-Rafidhah
Ialah gerakan pemahaman sesat yang diwariskan oleh Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan berupaya menyegarkan pemahamannya yang kafir, yaitu bahwa sayyidina Ali dan anak keturunannya adalah tuhan atau mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan mengkafirkan pula segenap shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja. (Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah)

6. Al-Jabariyyah
Ialah pemahaman sesat yang meyakini bawa semua apa yang terjadi adalah perbuatan Allah dan tidak ada perbuatan makhluk sama sekali. Manusia tidak mempunyai kehendak sama sekali karena yang ada hanya kehendak Allah. Sehingga semua perbuatan mansuia adalah ketaatan semata kepada kehendak Allah, dan tidak ada perbuatan maksiat. Orang berzina tidaklah dianggap maksiat karena perbuatan zina itu adalah perbuatan Allah dan kehendak-Nya. Semua manusia dianggap sama tidak ada muslim dan kafir, karena semuanya tidak mempunyai usaha (ikhtiar) dan tidak pula mempunyai kehendak apapun. (Talbis Iblis hal.22)

7. Al Mu'tazilah 
Di samping enam aliran sesat yang kemudian bercabang menjadi berpuluh-puluh aliran sesat lainnya, juga ada aliran sesat yang besar pula, yaitu mu'tazilah. Aliran ini mengkeramatkan akal sehingga akal adalah sumber kebenaran yang lebih tinggi kedudukannya dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dari pengkeramatan akal ini timbullah kesesatan mereka yang meliputi :

a. Mengingkari adanya sifat-sifat mulia bagi Allah.
b. Orang Islam yang berbuat dosa tidak dinamakan muslim dan tidak dinamakan kafir, tetapi ia adalah fasiq. Akan tetapi bila ia tidak sempat bertaubat dari dosanya dan mati dalam keadaan demikian berarti kekal di neraka sebagaimana orang kafir. Orang yang telah masuk neraka tidak mungkin lagi masuk surga, sebagaimana orang yang masuk surga tidak mungkin lagi masuk neraka.
c. Menyerukan pemberontakan kepada pemerintah Islam yang berbuat dhalim dan pemberontakan itu dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar.
d. Mengingkari adanya takdir Allah pada perbuatan hambanya.
e. Al-Qur'an itu adalah makhluk Allah sebagaimana pula sifat-sifat Allah lainnya adalah makhluk.
f. Mengingkari berita Al-Qur'an dan Al-hadits yang menyerukan bahwa wajah Allah itu dapat dilihat oleh kaum Mukminin di surga nanti. (Al-Farqu binal Firaq, Abdul Qahir Al-Isfaraini hal 114-115).

8. Al Bathiniyyah
Disamping mu'tazilah, ada juga aliran lain yang bernama bathiniyyah yang sering disebut orang thariqat sufiyyah. Mereka ini membagi syariat Islam dalam dua bagian, yaitu syariat batin dan syariat dhahir. Orang yang menganut aliran ini mempercayai bahwa para wali keramat itu syariatnya syariat batin sehingga tingkah lakunya tidak bisa diamati dengan patokan syariat dhahir.

Karena syariat batin itu sama sekali berbeda dengan syariat dhahir, maka yang haram di syariat dhahir bisa jadi halal dan bahkan suci dalam syariat batin. Orang-orang awam harus terikat dengan syariat dhahir. Jadi kalau orang awam berzina harus dicela dan dinilai telah berbuat maksiat, karena memang demikianlah syariat dhahir itu meilainya. Tapi kalau wali keramat berbuat mesum di diskotik atau di hotel tidak boleh dicela. Mereka para wali itu tidak lagi terikat dengan syariat dhahir, tetapi terikat dengan syariat bathin, yaitu syariat spesial milik para wali, jadi kalau ada orang yang mau mencoba mengkritik wali keramat itu dan mencelanya, maka ia harus setingkat mereka atau lebih tinggi.

Syariat dhahir itu diturunkan kepada Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam, sdangkan syariat batin diturunkan kepada para wali kearmat, melalui mimpi atau wangsit (ilham) atau lewat wahyu yang dibawa oleh para malaikat. (Talbis Iblis 162:169).

Dari aliran-aliran sempalan di atas terpecahlah sekian banyak aliran sesat yang ujungnya pasti membatalkan syariat Allah dan mengakkan syariat hawa nafsu serta kekafiran. (Al-Farqu bainal Firaq, Abdul Qahir bin Muhammad Al-Baghdadi Al-Isfaraini hal 281-312). Padahal masing-masing aliran yang bersumber dari 8 kelompok sempalan itu tentunya mempunyai pengikut dari umat Islam.

Demikianlah iblis dan anak buahnya memecah belah umat Islam melaui bid'ah, sehingga umat Islam terpecah belah menjadi beratus bahkan beribu-ribu aliran sesat yang telah menyempal dari Islam, walaupun mereka tetap meyakini keislamannya.

Cara Menyikapi Firqoh yaitu dengan menghindari Kebodohan Hukum Agama
Bila Islam sempalan itu dimisalkan sebagai tanaman, maka tanah subur tempat ia tumbuh dengan bagus dan cepat ialah kebodohan umat Islam tentang agamanya. Kebodohan yang demikian ini adalah akibat dari semakin rendahnya perhatian umat kepada pentingnya memahami dan mempelajarai hukum agama.

Para ulama yang bernar-benar memahami agama dan mengamalkannya semakin langka. Yang banyak ialah para ulama karbitan, makelar ilmu yang mencari dunia dengan agamanya. Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan mencabutnya sekaligus dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama, sehingga tidak tersisa seorang ulama pun, maka manusia pun menunjuk para pimpinan mereka orang-orang yang bodoh (tentang ilmu agama), maka mereka pun bertanya tentang agama kepada para pimpinan bodoh ini dan para pimpinan bodoh itupun memberi fatwa tanpa ilmu, akibatnya para pimpinan itu sesat dan menyesatkan pengikutnya."(HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi bermunculannya Islam sempalan, umat Islam harus dibangkitkan kembali semangatnya dalam menuntut dan mengamalkan ilmu agama. Disamping itu, segala upaya untuk menyebarkan ilmu agama haruslah dipermudah. Penjelasan dan pemahaman agama harus dikembalikan kepada ahlinya dan jangan sembarang orang merasa berhak berbicara tentangnya.

Apalagi kalau ia sama sekali tidak mempunyai latar belakang ilmu agama. Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat salah satunya ialah ilmu diambil dari orang-orang kecil."(HR Ibnul Mubarrak dalam Az-Zuhud, lihat Ash-Shohihah no.696).

Ketika ditanya kepada Ibnul Mubarrak siapakah orang-orang kecil (Ashaghir) yang dimaksud di sini, beliau menjawab: "Orang-orang kecil itu ialah yang berbicara tentang agama dari pikirannya sendiri, adapun orang kecil yang mengambil ilmu dan menyampaikan dari ulama besar, maka tidaklah dia dimasukkan dalam golongan orang-orang kecil". Oleh karena itu orang-orang yang menuntut ilmu agama dan kemudian menyebarkannya haruslah didkukung dan dibela, bila kita tidak ingin umat ini terus menerus diganggu dan dikacaukan oleh gerakan Islam sempalan.

Terakhir Penulis perlu menggaris bawahi dari uraian di atas bahwa untuk mewaspadai gerakan Islam sempalan ini semestinya dengan ilmu agama yang cukup.

Wallahu a'lam bi shawab.

Antara Wahyu dan Akal Manusia


Postingan kali ini merupakan salahsatu dari sekian tugas penulis ketika mengikuti kuliah Metodologi Studi Islam di Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta. 
Baiklah kita akan mulai judul artikel ini "Antara Wahyu dan Akal Manusia".
Memang pembicaraan tentang wahyu dan akal adalah topik tua yang tidak ada salahnya selalu kita kupas. Hangat untuk diperbincangkan. Filosof, cendikiawan, ulama, mahasiswa dan masih banyak lagi yang lain sering membahas masalah tersebut. 

Pemahaman kita terhadap hubungan keduanya akan memiliki pengaruh yang besar bagi pandangan kita terhadap kehidupan. Karena wahyu adalah refresantasi terhadap agama sedangkan akal adalah adalah perangkat dalam menghadapi kehidupan ini.
Tanpa perbanyak kata lagi, di sini saya akan memaparkan pandangan saya terhadap hubungan keduanya. 

Pembicaraan ini dimulai dengan akal. Karena akal adalah sesuatu yang dimiliki semua orang. Akal merupakan bukti kemanusian seseorang. Ketiadaan akal berarti kehilangan jati diri kemanusian manusia. Makanya, pakar-pakar logika mendefiniskan manusia adalah hewan yang berakal.

Pada dasarnya pengetahuan akal terbagi hanya kepada tiga bagian. yaitu, :

  1. Apa yang diketahui akal secara jelas. Artinya kebenarannya merupakan kebenaran yang pasti. Tidak ada akal yang membantahnya. Contoh : Pengetahuan bahwa segala sesuatu tidak bisa ada sekaligus tidak ada secara bersamaan. Ataukah bahwa berbuat baik kepada orang tua merupakan sebuah kebaikan. Jujur merupakan kebajikan dan berbohong adalah dosa. Semua manusia, masyarakat, kebudayaan dan perdaban mengakui hal tersebut.
  2. Apa yang diketahui manusia secara samar dan ragu-ragu. Dalam arti manusia berbeda tentang hal tersebut. Ada yang mengatakannya sebagai kebaikan dan yang lain menganggapnya sebagai sebuah kejahatan. Contoh, berjalan berduan bagi yang bukan mahram bagi sebahagian masyarakat adalah pelanggaran norma. Namun bagi yang lain, hal tersebut merupakan suatu kewajaran. Atau misalnya minum minuman beralkohol. Ada yang menganggap sebagai sesuatu yang merusak kesehatan, sedangkan yang lain menyebutnya sebagai minuman penghangat badan. Contoh dalam bentuk ini sangat banyak. (Silahkan cari sendiri)
  3. Apa yang tidak diketahui manusia sama sekali. Artinya akal manusia tidak mampu mengatahuinya dengan sendirinya. Contoh berita tentang kehidupan akhirat. Pengatahuan manusia tentangnya hanya berasal dari wahyu, bukan berdasar kepada pemikiran manusia.

Pembahasan selanjutnya tentang Wahyu.
Wahyu adalah petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia untuk membimbingnya menuju kebenaran. sedangkan akal adalah sesuatu yang dianugrahkan Allah kepada manusia untuk digunakan berpikir menuju kebenaran. Karena keduanya berasal dari satu Tuhan yang sama untuk satu tujuan yang sama pula yaitu kebenaran, maka mustahil keduanya bertentangan. Sebab dua buah kebenaran tidak mungkin bertentangan.
Kita kembali kepada pertanyaan semula. Bagaimana wahyu menyikapi ketiga hal di atas? 

Untuk yang nomor satu wahyu akan menguatkan apa yang disampaikan oleh akal. Karena kebenaran akal di sini merupakan kebenaran yang sudah sangat nyata sekali. Oleh karena itu tidak ada satu pun agama wahyu yang mengatakan bahwa berbuat baik kepada orang tua merupakan sebuah kejahatan. Atau jujur adalah perbuatan dosa sedangkan dusta adalah akhlak yang baik.

Untuk yang kedua, wahyu akan menghilangkan kesamaran dan keragu-raguan dengan menunjukan kebenaran. Ketika akal berbeda tentang sesuatu hal maka ikutilah apa yang disebutkan oleh wahyu, karena itu adalah kebenaran. Kebenaran wahyu tidak mengkin bertentangan dengan kebenaran akal. Orang berbeda tentang minuman beralkohol, apakah baik atau buruk? Maka apa yang disampaikan oleh wahyu, itulah yang benar. Maka ambillah kebenaran itu. dan buanglah yang salah.

Untuk yang ketiga, maka wahyu datang mengajar akal tentang hal tersebut. Karena akal tidak memiliki kemampuan untuk mencapainya. Oleh karena itu, apa saja yang disampaikan wahyu tentang hal ini adalah kebenaran. Akal tidak mungkin, tidak bisa dan tidak boleh membantahnya. Bagaimana mungkin kita dapat membantah berita tentang hari akhirat jika kita tidak bisa melakukan penelitian ke sana. Begitu juga tentang cara kita beribadah kepada Tuhan. Harus berdasakan kepada petunjuk wahyu. Karena akal tidak mampu mengetahui tentang cara beribadah yang diinginkan oleh Tuhan.
Demikian Artikel singkat Antara Wahyu dan Akal ini. Semoga bermanfaat.

Senin, 01 April 2013

Membahas Makna Ikhlas

Pada kesempatan ini saya mencoba menggambarkan selintas tentang Makna dan Arti Ikhlas dalam pandangan Islam, secara luas:
Secara Bahasa Ikhlas merupakan sesuatu yang murni yang tidak tercampur ; dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Bila tersebut bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang berserikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, 
Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66).
Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.

Adapun Iklas menurut definisi istilah syar’i (secara terminologi) para ulama bervariasi dalam mendefinisikannya namun benang merahnya sama yaitu: “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Juga ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu. 
Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).

Dapat disimpulkan di sini bahwa: “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”.

Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka, dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati…”