Tampilkan postingan dengan label Al-Qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al-Qur'an. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Juli 2013

Tafsir Teks Ayat dan Terjemah Q.S. Al-Baqarah: 152

Pada postingan kali ini penulis akan membahas tentang tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 152
Inilah dia teks bunyi ayat dan terjemah Al-Baqarah : 152.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ.
Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Terjemah Mufradat Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 152
Fadzkuruunii = Maka ingatlah kepada-Ku
Adzkurkum = Aku ingat kepada kalian
Wa = Dan
Usykuruu = Bersyukurlah
Lii = Kepada-Ku
Wa = Dan
Laa = Janganlah
Takfuruun = Kalian Mengingkari-Ku
Analisis Tafsir dan Mufradat Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 152
Fadzkuruunii (Ingatlah kalian kepada-Ku) dengan perbuatan taat karena nabi mengatakan, yang artinya:
“Barang siapa yang taat kepada Allah, sesungguhnya dia telah mengingat-Nya meskipun shalatnya, shaumnya dan membaca Al-Qur’annya itu sedikit. Dan brang siapa yang mendurhakai Allah, sesungguhnya ia telah melupakannya meskipun shalatnya dan membaca Al-Qur’annya banyak.”
Adzkurkum (Niscaya Aku ingat pada kalian) dengan memberikan pahala, kelembutan, kebaikan, penganugerahan kebaikan dan pembykaan pintu kebahagiaan. Dzikir yang dimutlakkan dengan makna tersebut adalah dzikir yang berarti mengetahui perkataan yang telah terlupakan. Allah Ta’ala Maha Suci dari terlupakan.

Berkenaan dengan Firman Allah yang artinya “Karena itu, Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan mengingatmu juga” Hasan Al-Bashri mengatakan,”Ingatlah kalian atas apa yang telah Aku (Allah) wajibkan kepada kalian, niscaya Akupun akan mengingat kalian juga atas apa yang telah aku tetapkan bagi kalian atas diri-Ku.”

Wasykuruulii (Dan bersyukurlah kepada-Ku) atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian. Dzikir dengan taat adalah syukur pula. Firman Allah Swt, yang artinya:”Dan bersyukurlah kalian kepada-Ku”, merupakan perintah khusus supaya mereka bersyukur kepada Allah Ta’ala karena segala karunia-Nya atas mereka dan janganlah bersyukur kepada selain-Nya.”

Penyusun Tafsir At-Taisir menjadikan Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka ingatlah kalian kepada-Ku”, sebagai perintah dengan perkataan.

Sedangkan Firman Allah yang Artinya: “Dan bersyukurlah kalian kepada-Ku”, sebagai perintah dengan amal perbuatan.

Ar-Raghib berkata: “Jika ditanyakan: ‘apa bedanya antara ungkapan syakartu lizaid dengan syakaru zaidan’, maka jawabnya: “syakartu lizaid mengandung makna kebaikan itu keluar dari dia (Zaid) kemudian kalian memujinya dengan ungkapan itu. Sedangkan kata syakartu zaidan mengandung makna tidak memperdulikan perbuatan Zaid akan tetapi langsung perduli kepada essensinya bukan kepada keadaan dan perilakunya.” Syakartu zaidan lebih bilaghah daripada syakartu lizaid. Dalam ayat dikatakan wasykuruulii bukannya wasykuruunii adalah untuk memberitahukan atas kekurangan mereka dalam mengetahui nikmat, bahkan juga tidak mampu memahami tanda-tandanya sebagaiman Allah Ta’ala berfirman: (Ibrahim:34)
Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
Kemudian Allah memerintahkan kepada mereka supaya mengambil I’tibar atas sebagian perbuatannya dalam bersyukur kepada Allah.

Walaa takfuruun (dan janganlah kalian kafir) dengan mengkufuri nikmat dan mendurhakai perintah-Nya.

Mungkin ada yang bertanya: ”Mengapa setelah kata wasykuruulii diteruskan dengan ungkapan walaa takfuruun, tidak cukup dengan mengatakan wasykuruulii saja?” Jawabnya adalah: ”Kalau hanya mengatakan Wasykuruulii, niscaya orang boleh beranggapan bahwa bersyukur itu hanya sekali atau atas satu nikmat saja. Dengan satu kali itu sudah berarti telah menjalankan perintah. Dan jika terbatas dengan menyebutkan kata walaa takfuruun saja, niscaya orang boleh berprasangka bahwa kata itu melarang mengerjakan kemaksiatan tanpa mendorong untuk berbuat kebaikan. Maka disatukanlah kedua kata tersebut guna menghilangkan prasangka tersebut. Dan karena pada kata walaa takfuruun mengandung pemberitahuan bahwa meninggalkan syukur berarti kufur.

Jika ditanyakan:”Mengapa Allah mengatakan: “Walaa takfuruun tidak mengatakan: Walaa takfuruulii?” maka jawabnya: “Kufur kepada Allah Ta’ala dikhususkan untuk memberitahukan bahwa kekafiran merupakan hal yang sangat buruk jika dibandingkan kepada kekufuran atas nikmat-Nya. Kufur nikmat terkadang dapat diampuni dan ini berbeda dengan kufur kepada Allah Ta’ala langsung.”
Wallohu A'llam Bishowab..

Kamis, 30 Mei 2013

Al-Qur’an, Manusia dan Takwil | Tinjauan Hermeneutik Bahasa

Nasr Abu Zayd menyatakan takwil hermeneutik sebagai "berkah" bagi peradaban Islam. Bernarkah takwil hermeneutik berkah? atau justru menjadi bencana? Mari kita coba melihat
Seorang pemikir muslim asal Aljazair selalu mendengungkan keharusan proses takwil sebagai satu langkah mutlak dalam berinteraksi dengan Alquran. Pandangannya ini kemudian diamini para intelektual yang mengaku modernis di dunia Islam lainnya.

Ia menegaskan begini: "Teks Al-Qur'an menggariskan adanya takwil, dalam pengertian ia tidak dapat diungkap hakekatnya melainkan dengan takwil. Karenanya Al-Qur'an adalah teks takwil par excellence" (Muhammad Arkoun; Lectures du Coran). Apa dan bagaimana konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam? Tulisan ini akan coba mendeskripsikannya berikut implikasi "tragis" jika teori ini diperturutkan tanpa batas.

***

Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûrpetunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.

Dialektika antara manusia dengan realitasnya ditengarai turut masuk mempengaruhi proses penafsiran itu. Bukankah Al-Qur'an diturunkan bagi manusia, untuk kemaslahatan manusia dan last but not least, untuk "memanusiakan" manusia (bukan menjadikannya makhluk otomatis seperti robot, mesin, hewan ataupun malaikat).

Maka dari diktum itu pulalah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi penentu yang determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Akan tetapi, posisi sentral manusia yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad pencerahan juga bukan tanpa cela dalam sudut pandang Islam. Manusia dalam kacamata Islam tidak lah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan terkungkung dalam dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal mazhab sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keilahian dan melucuti aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam menggariskan bersatunya nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk misi khilâfah/'imârat al-ardl (keduniaan) dan ubûdiyyah(keakhiratan). Prinsip-prinsip tersebut yang senantiasa harus diindahkan ketika kaum muslim berinteraksi dengan Al-Qur'an.

Dewasa ini pola interaksi kaum muslim dengan Al-Qur'an bukan hanya bercorak "hudâ'iy", "ijtimâ'iy" dan "ishlâhiy" (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi juga "'ilmiy" (dalam pengertiannya yang luas mencakup intellectual exercise, tidak hanya mencari pembenaran teori-teori sains dengan landasan ayat suci Al-Qur'an). Bahkan cenderung filosofis murni dan tak ada kaitannya dengan misi transformatif yang menjadi ciri utama kehadiran Al-Qur'an di pentas kehidupan manusia.

Hal ini bisa dilihat terutama dari kecenderungan (ittijâhât) upaya penafsiran dan penakwilan kitab suci yang terseret ke dalam diskusi panjang apakah manusia --secara umum sebagai pembaca dan penafsir teks-- merupakan makhluk historis atau filosofis, makhluk yang setiap saat berubah (sesuai dengan pengayaan pengalaman idup) atau yang konstan.

Sejauh mana posisi dan peran manusia dalam proses penafsiran, apakah tugasnya hanya menganalisa dan kemudian menerima otoritas tafsir di era pembentukannya ataukah hanya melibatkan pengetahuan dan pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai barometer dan menganggap penafsiran otoritas di masa lalu hanya berlaku untuk saat itu (historisitas)? Apakah tugas penafsir kitab suci diarahkan semata untuk menangkap maksud pemilik dan pencipta teks ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna baru seiring dengan jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca teks, bahkan "kematian" pengarang dianggap "berkah" untuk melahirkan makna-makna segar yang tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud pengarangnya?

Pertanyaan filosofis diatas mulai menggerogoti upaya sebagian elit muslim dalam banyak kajian mereka terhadap Al-Qur'an. Persinggungan intens dunia pemikiran muslim (yang tereleminasi dari pergaulan dunia) dengan dunia pemikiran Barat (yang dominan dan hegemonik) telah menyeret wacana hermeneutika masuk ke dalam kajian Al-Qur'an kontemporer.

Dunia pemikiran muslim telah kehilangan world view dan jati dirinya ketika berhadapan dengan dunia pemikiran Barat yang notabene hegemonik dan kuat baik secara program/agenda maupun funding untuk tujuan ekspansinya. Sadar atau tidak elit muslim telah masuk dalam agenda dan propaganda Barat bahwa budaya, teknologi dan metodologi Barat lebih unggul dan karena itu mesti digugu dan ditiru. Yang paling mengkhawatirkan bagi penulis adalah peniruan terhadap metodologi Barat di bidang Humaniora (sastra, psikologi, sosiologi, antropologi, dll) yang terbukti membawa arus sekulerisme yang tidak sesuai dengan falsafah hidup Islam. Ide dan pemikiran untuk mencari-cari aspek kesamaan-kesamaan (Fikr al-Muqârabât) antara metodologi Barat dan Islam di bidang kajian humaniora (sastra dan sejarah agama secara khusus, yang terkuak jelas dalam kasus hermeneutika) menjadi trend pada dekade akhir abad 20 dan awal abad 21 ini. Dalam kajian Al-Qur'an, fikr al-muqârabât antara tafsir (terlebih khusus lagi takwil) dengan hermeneutika yang berkembang di Barat (baik dalam studi biblikal/teologis maupun filsafat sastra secara umum) menjadi tak terelakkan.

Akuntabilitas Takwil

Jika pemahaman takwil klasik diartikan sebagai upaya pencapaian makna ayat suci dengan mengandalkan usaha rasional dan dengan cara menundukkan teks di bawah pengaruh prapikir seorang penafsir/pembaca teks, maka takwil dalam pengertiannya yang mutakhir memberikan dan menjamin ruang interaksi yang aktif antara objek teks dengan subjek pembacanya. Jika takwil hermeneutis mengandaikan dua tahap gerakan dalam proses penafsiran yaitu: pertama, kembali ke masa pembentukan teks dengan menyelidiki arti kosakata pada saat itu dan meletakkannya pada kondisi-kondisi objektifnya yang historis dan kedua, kembali kepada bahasa teks ketika penafsir menghadapi kesulitan untuk meletakkan teks tersebut ke dalam kondisi historisnya secara sempurna yang disebabkan oleh karena masing-masing pembaca memiliki sudut pandang khusus dalam proses pentakwilan. Di sinilah bahasa teks berperan untuk memproduksi makna baru. Dalam persepsi aliran ini pluralitas pemahaman akibat proses penakwilan tersebut tak terelakkan (Ahmidah al-Nayfar: al-Qur'an wa al-Insan Wajhan li Wajhin). Bahkan inilah "berkah" yang menjadikan kitab suci sebagai poros peradaban Islam, seperti ditengarai Nasr Hamid Abu Zayd.

Apakah benar asumsi Abu Zayd yang menyatakan takwil hermeneutis sebagai "berkah" bagi peradaban Islam atau justru menjadi "bencana"? Mari kita coba melihat.

Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd), tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa (sebaik apa pun ia) memiliki sifat dan cenderung untuk mengelak/menghindar (murâwaghah) dan liar/lepas kendali jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis.

Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal (mu'jam/qomus), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan kedua, tingkatan dalâlahyang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ahdan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga 'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan dan kekayaan pengalaman hidupnya.

Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah dalil (didukung argumentasi kuat) dan la'b (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", demikian ungkapan yang selalu terngiang. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir" (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân) mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir pertama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.

Penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus (Mas'uliyyat al-Ta'wil: hlm. 17)

Salah satu bahasan yang cukup pelik adalah ketika Al-Qur'an sebagai risalah/pesan petunjuk Allah swt untuk manusia dihadapkan dengan terma hermeneutika yang memperlakukan semua jenis teks (baik sastra, filsafat, atau teologis/suci) secara sama dan sederajat. Lebih menukik lagi, apakah Al-Qur'an merupakan risalah teologis ataukah diskursus bahasa? N.H. Abu Zayd pernah menyatakan bahwa "Kepercayaan atas wujud metafisik Al-Qur'an akan melenyapkan dan menodai upaya pemahaman yang ilmiah bagi fenomena wahyu/teks Al-Qur'an. Keimanan terhadap sumber ilahiyah teks adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan upaya mencandra dan menganalisa teks melalui kebudayaan tempat berafiliasinya Al-Qur'an. Sebenarnya sakralitas sumber Al-Qur'an yang transenden tidak menafikan pragmatisme kandungan Al-Qur'an dan oleh karena itu (juga tidak menafikan) afiliasinya pada kebudayaan manusia tertentu" (Mafhum al-Nash: hlm. 24).

Bagi penulis, dengan pernyataannya, Abu Zayd terjebak dalam kontradiksi serius yang ia ciptakan sendiri. Berbeda dengan sikap para otoritas keilmuan muslim yang tidak menciptakan garis pisah yang ekstrim antara keimanan sumber keilahian Al-Qur'an dengan pendekatan ilmiah dalam memahaminya melalui seperangkat kaidah-kaidah yang digali dari bahasa dan prinsip-prinsip syariah (Ali Harb: Naqd al-Nash, hlm 210 dan Wan Daud Mohd. Daud: Tafsir dan Takwil sebagai Metode Ilmiah, www.insistnet.com). Bagi mereka status Al-Qur'an sebagai teks sekaligus risalah ilahi adalah landasan epistemologis dan metodologis dalam setiap upaya pendekatan ilmiah memahami Al-Qur'an. Tanpanya akan sia-sia belaka dan mengundang kita bersikap hati-hati untuk mengkaji teks Al-Qur'an murni sebagai teks bahasa.

Amin Al-Khuli, tokoh yang pertama kali mencetuskan Manhaj Bayani dalam kajian Al-Qur'an yang dalam beberapa aspek sangat dipengaruhi konsep hermeneutika Barat, sejak dini sudah mewanti-wanti "Sejak awal sampai akhir, upaya melucuti Al-Qur'an dari petunjuk syari'ahnya akan melumpuhkan sebagian besar aturan yang berupa aqidah dan syariah. Karena meski pada dasarnya Al-Qur'an sebagai wujud/fenomena bahasa, tetapi ia juga merupakan risalah ilahi di bidang akidah dan syariah" (Dâ'irat al-Ma'ârif al-Islâmiyyah: vol 2/266).

Oleh karenanya menjadi keharusan bagi mufasir untuk mempertimbangkan, dalam setiap upaya pendekatan ilmiahnya terhadap Al-Qur'an, fakta bahwa nash Al-Qur'an adalah sabda Tuhan (Muhammad Abu Musa: Min Asrâr al-Ta'bir al-Qur'aniy). Upaya penafsiran atau pendekatan ilmiah apapun terhadap Al-Qur'an selalin menuntut kompetensi intelektual para pelakunya juga mengundang ketawadluan mentalitas dan spiritualitas penafsir. Keagungan Allah SWT, tujuan-tujuan syariat dan hikmah serta kemutlakan ilmu-Nya senantiasa mengiringi dan menyinari proses penakwilan agar tidak terperosok ke dalam jebakan filsafat positivisme yang menyampingkan dimensi metafisik teks kitab suci dalam petualangan untuk profanisasi kitab suci yang sakral.

Wallâhu A'lam

Rabu, 27 Maret 2013

Hikmah dari Al-Qur'an Menjelaskan Jantung


Paper itu ditulis oleh Marios Loukas, Yousuf Saad, Shane Tubbs dan Mohamadali Shoja. Penulis pertama, Marios Loukas adalah seorang Profesor di St. George University dengan bidang riset seputar jantung, teknik dan anatomi pembedahan, arteriogenesis hingga pendidikan medis.

Pencarian dengan menggunakan portal ISIWeb Knowledge menyebutkan sekitar 280 paper ilmiah yang pernah ditulis oleh Marios Loukas di bidang jantung. Ini menunjukkan kredibilitas beliau sebagai pakar yang berkompeten untuk berbicara soal jantung, termasuk tulisannya yang membicarakan jantung di dalam Al Quran dan Hadits.

International Journal of Cardiology itu sendiri termasuk jurnal ternama di bidang jantung. Nilai Impact factor jurnaltersebut sekitar 3. Paper yang diterbitkan itu dapat dilihat di http://www.internationaljournalofcar…566-X/abstract

Dr. Marios Loukas

Mungkin penting untuk diketahui disini, bahwa kata “heart” dalam dunia kedokteran berarti jantung, bukan hati. Adapun “hati” dalam kedokteran adalah liver. Karena itu kata ?qalb? dalam bahasa Arab, diterjemahkan oleh penulis paper tersebut menjadi “heart”, yang dalam bahasa Indonesia berarti jantung.

Ada sejumlah hal menarik dari paper tersebut.

Paper tersebut dikirim dan sampai (received) ke jurnal tersebut pada tanggal 7 Mei 2009. Ternyata, hanya dalam 5 hari kemudian tanggal 12 Mei 2009, paper tersebut langsung disetujui (accepted) oleh editor jurnal tersebut. Sepanjang pengetahuan saya, proses ini sangat-sangat cepat. Rata-rata sebuah paper membutuhkan waktu satu hingga beberapa bulan untuk dapat disetujui oleh editor jurnal. Bahkan ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Lamanya proses itu salah satunya karena adanya diskusi panjang dengan reviewer atau pihak ketiga yang memberikan penilaian layak tidaknya sebuah paper untuk dapat diterbitkan di sebuah jurnal ilmiah. Dugaan saya, proses yang hanya lima hari sejak proses received hingga accepted ini disebabkan karena editor langsung setuju dengan isi paper tersebut sehingga tidak diperlukan lagi proses pengecekan oleh pihak ketiga.

Paper itu sendiri terbit secara online pada 25 Agustus 2009. Kemudian dicetak dalam edisi kertas baru-baru saja, pada 1 April 2010.

Dalam pengantarnya, penulis menjelaskan kemajuan ilmu kedokteran saat ini nampaknya melupakan kontribusi dari sejumlah teks-teks agama, salah satunya adalah Quran dan Hadits. Padahal beliau menyebut deskripsi yang akurat tentang struktur anatomi, prosedur bedah, karakteristik fisiologi dan pengobatan medis, “Found within the Qur’an and Hadeeth are accurate descriptions of anatomical structures, surgical procedures, physiological characteristics, and medical remedies.” Paper itu ditulis sebagai review atau rangkuman untuk menyajikan secara akurat kontribusi Al Quran dan Hadits dengan fokus khusus pada sistem jantung “to accurately present the anatomical and medical contributions of the Qur?an and Hadeeth, with specific focus on the cardiovascular system.”

Setelah menyebutkan sejarah singkat Al Quran dan Hadits, Marios Loukas menjelaskan perbedaan kontras dalam Islam dan Kristen mengenai hubungan antara agama dan sains. Dalam sejarah Kristen di abad pertengahan dan masa Renaissance, pengaruh gereja Kristen melumpuhkan (stifle) perkembangan sains, bahkan jika pengamatan sains tersebut sebenarnya didukung oleh perhitungan dan pemikiran rasional. Sementara, sains di era kejayaan Islam berkembang luas disebabkan ajaran Islam mendorong (encourage) dan mendukung riset sains. Selain itu, dalam Islam pencarian ilmu pengetahuan merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan (an act of worship to God).

Paper itu menjelaskan tentang pandangan umum tentang pengobatan dalam Al Qur’an dan Hadits. Diantaranya, Allah SWT yang menciptakan penyakit, dan setiap penyakit itu selalu ada obat dan metode penyembuhannya. Sebuah penyakit yang sembuh terjadi karena adanya ijin dari Allah SWT (permission of God). Ada dua macam perlakuan (treatment) untuk proses penyembuhan suatu penyakit, yaitu secara spiritual dan fisik. Sebab, Al Quran menyebut penyakit tidak hanya berupa penyakit fisik, namun juga penyakit yang  ”tersembunyi” seperti keragu-raguan (doubt), kotoran keimanan (impurity), kemunafikan (hypocrisy) dan tidak beriman (disbelief) dan dusta (falsehood).

Selain penyakit batin tersebut, Al Quran dan Hadits juga mendiskusikan beberapa penyakit fisik seperti sakit perut (abdominal pain), mencret (diarrhea), demam (fever), penyakit kusta (leprosy), and penyakit mental. Diantara obat yang manjur adalah madu karena mengandung gula, vitamin dan anti mikroba. Selanjutnya Al Quran berbicara tentang makanan apa saja yang haram dikonsumsi, seperti bangkai, darah, daging babi serta yang disembelih tidak atas nama Allah.

Mengenai sistem jantung, darah dan sirkulasinya, penulis menyebut tentang sebuah ayat Al Quran yang menyatakan bahwa “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaaf 16). Ini menunjukkan relasi antara Allah SWT dengan hamba-Nya, sekaligus mengisyaratkan pentingnya pembuluh darah di leher dan hubungannya dengan jantung.

Panjang lebar, penulis paper tersebut juga mengupas jantung, penyakit yang berkaitan dengan jantung, serta kontribusi Al Qur?an dan Hadits bagi dunia medik. Seperti, pembuluh darah aorta, diskusi seputar darah pada penyembelihan binatang. Al Quran juga menyebut ada tiga kelompok manusia berdasarkan keadaan ?heart?, yaitu orang yang beriman (believers) yang memiliki heart yang hidup, orang kafir (rejecters of faith) yang memiliki heart yang mati, dan orang munafik (the hypocrites) yang ada penyakit dalam heart. Karena itu Marios Loukas menyatakan bahwa heart memiliki dua tipe, yaitu spiritual heart dan physical heart. Tiga kategori itu termasuk ke dalam spiritual heart. Ia juga menyebutkan bahwa ulama (scholars) membagi dua jenis penyakit dalam spiritual heart, yaitu syubuhat dan syahwat.

Bagian yang juga menarik, ketika secara tidak langsung gaya hidup manusia yang dikehendaki oleh Allah SWT, membuat kemungkinan terkena penyakit jantung menjadi lebih kecil, seperti melakukan aktivitas spiritual, makan secukupnya, bekerja secara fisik, tidak marah dan iri hati, menjauhi keserakahan, serta menjauhkan diri dari makanan dan minuman yang dilarang. Termasuk dibahas pula gerakan-gerakan shalat (berdiri, sujud duduk) yang berhubungan dengan kesehatan, sampai-sampai gerakan orang shalat yang malas seperti yang dilakukan oleh orang munafik dikecam dalam Al Quran. Hingga dibahas pula, larangan Islam untuk mengkonsumsi alkohol untuk khamar yang bisa ditinjau dari segi kesehatan. Sebab, alkohol berpengaruh pada seluruh organ tubuh, seperti liver, lambung, usus, pankreas, jantung dan otak dan dapat menyebabkan sejumlah penyakit, seperti liver cirrhosis, pancreatic insufficiency, cancer, hypertension dan heart disease.

Di bagian kesimpulan, penulis menyatakan bahwa Al Qur’an dan ucapan Nabi Muhammad merupakan teks agama, spiritual dan sekaligus saintifik, serta memberikan pengaruh (influence) bagi ilmu medik dan anatomi. Setelah panjang lebar menjelaskan, penulis menyatakan bahwa jantung (heart) sesungguhnya berisi unsur hati, kecerdasaan dan emosi, sebagaimana juga unsur fisik tubuh yang dapat mengalami sakit, seperti pembekuan darah dll. Penulis juga menyatakan bahwa saintis Eropa di abad pertengahan gagal dalam mengambil manfaat dari Islam, disebabkan oleh beberapa kemungkinan diantaranya proses penterjemahan yang buruk.

Menurut pengamatan saya, Al Qur’an memang bukan kitab sains, namun petunjuk hidup bagi manusia. Bagi orang yang beriman, Al Qur’an juga tidak butuh bukti untuk kebenaran isinya. Namun demikian, adanya sejumlah isyarat-isyarat ilmiah yang belakangan terbukti sesuai dengan perkembangan sains modern semakin menunjukkan bahwa Al Quran bukanlah sebuah kitab yang biasa, tetapi sebuah mukjizat dari Allah SWT. Inilah domain yang dimasuki oleh Marios Loukas dan partnernya. Orang seperti Marios Loukas dengan kepakarannya di bidang jantung sangat tepat untuk membahas masalah ini. Tentu, usaha ini patut mendapat apresiasi dari kita, kaum muslimin. Salah satunya, beberapa saintis Turki menulis paper di jurnal tersebut yang berjudul  “Islamic legacy of cardiology: Inspirations from the holy sources”, sebagai kelanjutan dari paper Marios Loukas tersebut.

Disamping itu pula, sudah menjadi sunnatullah jika gembong anti Islam selalu menampakkan kebenciannya terhadap setiap upaya untuk memajukan Islam. Kalangan anti Islam dari kelompok faithfreedom.org misalnya, mereka sangat tidak suka ketika jurnal Cardiology itu menerbitkan paper tersebut. Bahkan salah satunya seperti Syed Kamran Mirza sampai menulis surat kepada jurnal tersebut agar menarik paper tersebut. Tentu saja permintaan itu ditolak.

Semoga informasi ini bisa menjadi tambahan inspirasi untuk kaum muslimin, untuk selalu menjadi yang terbaik di bidang masing-masing, menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, dan juga menjadi tambahan keimanan bagi kita, kaum muslimin. Wallahu a’lam bish showab..
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/06/27/21238-kebenaran-islam-tentang-jantung-manusia-yang-ditulis-oleh-al-quran.html#sthash.Af57MTZJ.dpuf

Hikmah Membaca Al-Qur'an

Membaca al-Qur’an merupakan ibadah, selain dari itu terkandung pula macam-macam tujuan dan hikmah yang luar biasa. Lima diantaranya yang akan diuraikan dibawah ini mudah-mudahan dapat memberikan dorongan kepada seorang Muslim untuk membaca al-Qur’an, memperbanyak dan menyibukkan diri dengannya serta selalu bersamanya.
Lima diantara Hikmah membaca Al-Qur'an itu adalah:

1.    Membaca al-Qur’an untuk memperoleh ilmu
Inilah tujuan dari diturunkannya al-Qur’an yang paling penting dan paling agung serta tujuan dari perintah untuk membacanya. Bahkan termasuk rentetan pahala dari membacanya. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,

“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Apabila Anda menginginkan ilmu, maka bacalah al-Qur’an ini, karena di dalamnya terkandung ilmu umat terdahulu dan yang akan datang.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, VI/126).
Al-Hasan bin Ali—radhiyallahu ‘anhuma—berkata, “Orang-orang sebelum kalian memandang bahwa al-Qur’an adalah surat-surat dari Rabb mereka, sehingga mereka mentadabburinya di waktu malam dan mencarinya di waktu siang hari.” (at-Tibyan karya Imam an-Nawawi: 28).

Sesuatu yang bisa membantu mewujudkan tujuan ini adalah hendaknya Anda membaca al-Qur’an seperti halnya seorang siswa membaca buku pelajarannya di malam ujian. Konsentrasinya penuh, dan bersiap-siap untuk diuji habis-habisan.

Kita semua dalam kehidupan ini sedang diuji melalui al-Qur’an. Di antara kita ada yang giat dan bersungguh-sungguh dan selalu mengulang-ulang kitab tersebut sehingga jawaban-jawabannya akan selalu cepat dan tepat. Ada juga yang menyepelekan, ogah-ogahan serta main-main. Dan apabila ditanya sesuatu tentang al-Qur’an, ia akan menjawab: Hah… hah! Saya tidak tahu.
Setiap situasi, peristiwa atau kondisi yang melintasi Anda, pasti pernah membuat Anda bertanya-tanya, “Adakah hal ini tertera dalam al-Qur’an? Di mana hal tersebut disebutkan dalam al-Qur’an?”

Berapa banyak kita telah membaca atau mendengar tentang orang-orang yang tersentak karena makna ayat al-Qur’an sirna dari hatinya,  sehingga ia mengatakan, “Apakah ayat ini ada dalam al-Qur’an? Seolah-olah saya baru pertama kali mendengarnya.”

2.    Membaca al-Qur’an untuk diamalkan
Yaitu membaca al-Qur'an  dengan niat mengamalkannya; dengan niat mencari ilmu untuk diamalkan. Maka sepantasnyalah pembaca al-Qur’an berhenti di setiap ayat untuk memperhatikan apa isi yang dikandungnya; adakah perintah, atau larangan, atau keutamaan yang hendaknya ia berhias dengannya? Ataukah ada bahaya yang mengelilinginya yang harus diwaspadai?

Al-Hasan bin Ali—radhiyallahu ‘anhuma—berkata, “Bacalah al-Qur'an  sehingga bisa mencegahmu (melakukan dosa). Bila belum demikian, maka (pada hakekatnya) Anda belum membacanya.” (Kanzul ‘Ummal: I/2776).
Al-Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, “Sesungguhnya al-Qur'an  ini telah dibaca oleh para hamba sahaya dan anak-anak yang tidak memiliki ilmu tentang tafsirannya… Padahal sebenarnya, tadabbur ayat-ayat al-Qur'an itu hanya dengan mengikutinya. Tadabbur al-Qur'an bukan sekadar menghapal huruf-hurufnya, lalu batasan-batasannya diabaikan. Hingga salah seorang dari mereka mengatakan, “Saya telah membaca al-Qur'an  seluruhnya dan saya tidak pernah meninggalkan satu huruf pun.” Namun demi Allah, ia telah meninggalkan seluruh hurufnya. Karena ia tidak mewujudkan al-Qur'an  dalam akhlak dan amalannya. Bahkan salah seorang dari mereka mengatakan, “Saya mampu membaca satu surat dalam satu tarikan nafas.” Demi Allah, mereka bukanlah seorang pembaca al-Qur'an, bukan ulama, bukan ahli hikmah, dan bukan seorang  yang memiliki kewibawaan. Sampai kapan para pembaca al-Qur'an  berbuat seperti ini? Semoga Allah tidak menambah jumlah orang seperti mereka.”(Syu’ab al-Iman karya al-Baihaqi (II/541), al-Zuhud karya Ibnu al-Mubarak (I/274).

3.    Membaca al-Qur'an  untuk Bermunajat kepada Allah
Seorang pembaca al-Qur'an, hendaknya merasa bahwa Allah sedang berdialog langsung dengannya dan mendengar bacaannya. Apabila ia melewati ayat yang mengandung tasbih, hendaklah ia bertasbih. Ketika melewati ayat yang mengandung ancaman, ia meminta perlindungan. Dan jika melewati ayat yang mengandung permohonan, ia pun bermohon.
Inilah gambaran bermunajat dengan al-Qur'an, yaitu bacaan yang hidup. Di mana seorang hamba sadar, apa yang sedang ia baca? Mengapa ia membacanya? Siapa yang ia ajak berbicara dengan bacaan tersebut? Apa yang ia butuhkan dari-Nya? Serta mengetahui kewajibannya terhadap al-Qur'an, yaitu mengagungkan dan menyucikannya.

4.    Membaca al-Qur'an  untuk Mendapatkan Pahala
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barang siapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan bahwa aliflammim adalah satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. al-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih).

Masih banyak nash yang menjelaskan pahala yang besar bagi para pembaca al-Qur'an (lihat al-Fikrah, Sembilan Keutamaan Membaca al-Qur'an, edisi 07/tahun VI).

5.    Membaca al-Qur'an  untuk Berobat
Allah Ta’ala berfirman, artinya,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57).
“Dan kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Israa’: 82).

Al-Qur'an  adalah obat bagi hati dari berbagai penyakit syahwat dan syubhat serta bisikan-bisikan dengan berbagai bentuknya, baik yang memaksa maupun tidak. Al-Qur'an  juga obat bagi tubuh dari berbagai penyakit. Setiap kali seorang hamba menghadirkan tujuan ini, maka ia akan mendapatkan dua obat; obat ilmu maknawi nafsi (rohani), dan obat materi untuk tubuh (jasmani), dengan izin Allah.

Dari Ali Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sebaik-baik obat adalah al-Qur'an.” (Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (IV/931).

Penyembuhan dengan al-Qur'an  dapat diperoleh melalui dua cara: Pertama, membacanya di waktu shalat, terutama di waktu malam yang akhir dengan menghadirkan niat berobat. Kedua, ruqyah dengan menggunakan al-Qur'an.
Beginilah seharusnya kita berinteraksi dengan al-Qur'an. Al-Qur'an  adalah mudah bagi setiap orang yang benar dalam berinteraksi dengannya dan bersungguh-sugguh dalam mempelajari ilmunya dan mengamalkannya. Wallahu Waliyyut Taufiq

Disadur ulang dari bahasa aslinya oleh Asep Iwan dari sumber: The Mystery of the Qur’an Secret Power Karya Dr. Khalid Abdul Karim al-Laahim. (Al Fikrah No.19/Tahun XI/13 Dzulqadah 1431H)

Rabu, 13 Maret 2013

Tahlilan Kematian adalah Bid'ah..?


Tahlilan kematian yang sering dilakukan oleh mayoritas umat Islam Indonesia memang telah menjadi permasalahan lawas yang sulit ditinggalkan karena sudah menjadi tradisi turun-temurun. Para pengkaji fiqih dari ormas Islam pun telah banyak membahas permasalahan ini, Persis, misalnya yang telah dengan tegas menganggap hal ini perbuatan bid'ah yang akan merugikan amal. 
Ada beberapa catatan tentang cara tahlilan yang dilakukan, pelaksanaan tahlilan tersebut terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Quran, dzikir-dzikir dan disertai dengan doa-doa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan.
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wataala berfirman (artinya):
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian." (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya." (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: "Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam", yang kedua menyatakan: "Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka", yang terakhir menyatakan: "Saya tidak akan menikah", maka Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: "Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku." (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wataala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam. Allah subhanahu wataala menyatakan dalam Al Quran (artinya):
"Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya." (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna "yang paling baik amalnya" ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak (bid'ah). Firman Allah subhanahu wataala (artinya): "Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya". (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits Aisyah radhiAllahu anha, Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak." (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
"Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya."
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy SyafiI:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara (syariat) sendiri".
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafii tentang hukum bacaan Al Quran yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wataala (artinya):
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya". (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu anhum. Jarir bin Abdillah radhiAllahu anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam– berkata: "Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)." (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): "Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka." (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafii setelah menyebutkan perkataan Asy Syafii diatas didalam kitabnya Majmu Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: "Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid'ah).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafii?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
"Hidangkanlah makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematian) yang menyibukkan mereka." (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan.

Senin, 11 Maret 2013

Cara Belajar Menghafal Al-Qur'an

Bismillahirrohmaanirrohiem, 
Selamat datang kembali di blog berbagi ilmu dan pengalaman, kali ini saya ingin membagi sesuatu yang sesuatu tersebut sudah menjadi amal yang langka ditemui di sekitar kita yaitu kegiatan hifdzul Al-Qur'an. Memang bagi penulis sendiri pun belum maksimal melakukannya tetapi walau dengan berat hati, diri sendiri pun belum dapat mengamalkannya mudah-mudahan khwan fillah ada yang bersedia berusaha menjadi haafizh atau hafidzoh. 
Para calon hafizh atau hafizhoh ada beberapa hal yang harus diperhatikan: 

1. Luruskan niat. 
Apakah maksud kita menghafal Alquran untuk mendapatkan penghormatan dari orang lain? Apakah kita mendorong anak kita menghafal supaya kita dianggap sebagai orang tua yang sukses? Jika masih ada motivasi selain Allah di dalam hati kita, maka marilah beristighfar dan buru-buru meluruskan niat. Lillaahi ta’ala kita menghafal dan ridha allah adalah puncak tujuan kita. Mari mengingat QS.Al-Bayyinah: 5.

2. Istiqomah. 
Istiqomah adalah konsisten. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesemangatan dalam menghafal bersifat fluktuatif. Naik dan turun. Kondisi jiwa yang terkadang senang dan susah menjadi ujian bagi para penghafal Al-Qur’an. Disinilah istiqomah sangat menentukan keberhasilan dalam menghafal Al-Qur’an.

3. Memohon pertolongan kepada Allah SWT. 
Menghafal Al-Qur'an telah dijanjikan Allah sebagai sesuatu yang mudah. Tapi hal tersebut tidak lalu membuat kita menjadi jumawa. Selayaknya kita menyadari bahwa kita tidak akan dapat menghafal Al-Qur'an kecuali dengan pertolongan Allah. Dan pertolongan Allah tersebut harus kita tarik. 

Diibaratkan, dengan pergi ke kolam ikan kita akan mendapat banyak ikan. Tapi kita tidak akan mendapatkan satupun ikan hanya dengan berdiri mematung. Tentulah harus ada usaha untuk mendapatkan ikan tersebut. Usaha yang dapat kita lakukan untuk menarik pertolongan Allah diantaranya adalah memperbanyak amal sholeh. Sholat malam, puasa sunnah, bersedekah dan amal saleh lainnya insya Allah dapat menjadi kail untuk menarik pertolongan Allah.

Lalu bagaimana dengan saudara kita yang mengalami kesulitan dalam urusan menghafal. Tidak semua orang diberi anugerah dengan kemampuan menghafal yang baik. Maka tidak ada satupun alasan untuk mengundurkan diri dari menghafalkan Al-qur'an. Dan bagi mereka pahala dua kali lipat. Satu pahala karena bacaannya. Satu pahala lagi karena kesungguhannya. ( Himpunan Fadhilah Amal : 566)

Mulla Ali Qori rah.a. meriwayatkan dari Thabrani dan Baihaqi, “Barangsiapa berusaha menghafal Al-Qur'an, tetapi ia tidak mampu untuk menghafalnya, maka ia akan memperoleh ganjaran dua kali lipat. Dan barangsiapa benar-benar ingin menghafal Al-Qur'an tetapi tidak mampu dan ia tetap berusaha untuk menghafalnya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari mahsyar bersama-sama para hafiz Al-qur'an.” 

Selasa, 26 Februari 2013

Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?

"Maka, nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan?" 
  (QS Ar-Rahmaan: 13)

Ayat itu diulang sebanyak 31 kali dalam Surah Ar-Rahmaan. Kerap membuat siapapun tertegun membacanya. Betapa kita, sebagai makhluk-Nya, terkadang terlalu sombong untuk sekadar mengucapkan 'terima kasih' kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Sudah banyak sekali nikmat yang sudah Dia berikan. Namun, kita malah tidak bersyukur kepada-Nya. Bukankah Allah SWT telah berfirman:  ''Dan, Dia telah memberikanmu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).'' (QS Ibrahim [14]: 34). Sudah banyak sekali nikmat yang Dia berikan. Nikmat mencicipi manisnya iman, nikmat menghirup udara segar, dan sebagainya.

Allah telah memberi iming-iming yang menggiurkan untuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur, dan ancaman untuk hamba-hamba-Nya yang kufur, seperti yang termaktub dalam Surah Ibrahim ayat 7: “''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.''

Maka, syukurilah nikmat yang datang pada kita. Jangan kita terlena hingga kita lupa dan mengklaim itu adalah hasil jerih payah kita sendiri, tanpa menganggap Allah sebagai Maha Pemberi. Karena, sikap seperti itu dapat menjerumuskan kita kepada kekufuran terhadap nikmat Allah.

Bila hal yang diatas berhubungan dengan pemberian yang sesuai dengan keinginan kita, lalu bagaimana dengan pemberian yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Terkadang kita, sebagai manusia, mengeluhkan atau tidak mensyukuri pemberian Allah SWT yang tidak sesuai harapan kita. Padahal, kita tidak tahu kalau itu sebenarnya baik untuk kita. Kita hanya terus menyalahkan keputusan-Nya. Tidak adillah, tidak baiklah, atau keluhan-keluhan lainnya terus meluncur dari lisan kita. Jarang kita melihat sisi positif dari pemberian itu. Padahal, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita.

Oleh karena itu, ketika ditimpa suatu musibah, janganlah cepat-cepat mengeluh. Lihatlah sisi positifnya. Berpikirlah bahwa Allah sayang kepada kita, karena Allah ingin segera menghapus dosa kita lewat ujian itu.

Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah berupa rasa lelahnya badan, rasa lapar yang terus menerus atau sakit, rasa sedih/benci yang berkaitan dengan masa sekarang, rasa sedih/benci yang berkaitan dengan masa lalu, gangguan orang lain pada dirinya, sesuatu yang membuat hati menjadi sesak sampai-sampai duri yang menusuknya melainkan akan Allah hapuskan dengan sebab hal tersebut kesalahan-kesalahannya” (HR  Bukhori no 5641, Muslim no . 2573).

Begitu juga ketika keputusan Allah tidak sesuai harapan kita. Mungkin itu adalah untuk kebaikan jangka panjang kita. Ingatlah, Allah memberikan apa yang kita PERLUKAN, bukan yang kita HARAPKAN, karena bisa jadi apa yang kita harapkan justru mendatangkan mudharat bagi kita.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216)

Perpisahan dengan orang-orang yang kita cintai, penyakit yang menggerogoti tubuh kita,  merupakan beberapa ujian yang perlu kita ambil sisi positifnya. Jangan kita terus mengeluh dan mengeluh. Karena, tak ada gunanya juga terus meratapi nasib. Sesekali, beranikan diri kita untuk mengambil sisi positif dari itu semua. Karena, di balik semua kejadian, pasti ada hikmahnya. Wallahu a’lam.

Minggu, 24 Februari 2013

Surga dan Neraka dalam Qur'an dan Hadits

Salah satu di antara pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengimani keberadaan Surga (Al Jannah) dan Neraka (An Naar). Salah satunya berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya..”(QS. Al-Baqarah : 24-25).
Mengimani surga dan neraka berarti membenarkan dengan pasti akan keberadaan keduanya, dan meyakini bahwa keduanya merupakan makhluk yang dikekalkan oleh Allah, tidak akan punah dan tidak akan binasa, dimasukkan ke dalam surga segala bentuk kenikmatan dan ke dalam neraka segala bentuk siksa. Juga mengimani bahwa surga dan neraka telah tercipta dan keduanya saat ini telah disiapkan oleh Allah ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai surga (yang artinya), “..yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran : 133), dan mengenai neraka (yang artinya), “..yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir.”(QS. Ali Imran : 131).[1] Oleh karena itulah, Al Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H) menyimpulkan dalam Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, “Surga dan neraka adalah dua makhluq yang kekal, tak akan punah dan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluq lain”[2].

Surga dan Kenikmatannya

Allah Ta’ala telah menggambarkan kenikmatan surga melalui berbagai macam cara. Terkadang, Allah mengacaukan akal sehat manusia melalui firman-Nya dalam hadits qudsi, “Kusiapkan bagi hamba-hambaKu yang sholih (di dalam surga, -pen), yaitu apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam hati semua manusia”, kemudian Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: “Bacalah jika kalian mau, ‘Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang’ (QS. As-Sajdah : 17)”[3]. Di tempat lain, Allah membandingkan kenikmatan surga dengan dunia untuk menjatuhkan dan merendahkannya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Tempat cemeti di dalam surga lebih baik dari dunia dan seisinya”.[4] Kenikmatan surga juga Allah Ta’ala gambarkan dengan menyebut manusia yang berhasil memasuki surga dan selamat dari adzab neraka, sebagai orang yang beroleh kemenangan yang besar. Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan (yang artinya), “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa’ : 13)[5] Berikut ini akan kami pilihkan beberapa sifat dan kenikmatan yang ada di dalam surga secara ringkas. Semoga Allah mudahkan langkah kita dalam menggapai surgaNya.
Penamaan Surga
Surga (Al Jannah) secara bahasa berarti : kebun (al bustan), atau kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan. Bangsa Arab juga biasa memakai kata al jannah untuk menyebut pohon kurma. Secara istilah, surga ialah nama yang umum mencakup suatu tempat (yang telah dipersiapkan oleh Allah bagi mereka yang menaati-Nya), di dalamnya terdapat segala macam kenikmatan, kelezatan, kesenangan, kebahagiaan, dan kesejukan pandangan mata. Surga juga disebut dengan berbagai macam nama selain Al Jannah, diantaranya : Darus Salam (Negeri Keselamatan;lihat QS. Yunus : 25), Darul Khuld (Negeri yang Kekal;lihat QS. Qaaf : 34), Jannatun Na’im (Surga yang Penuh Kenikmatan;QS. Luqman: 8), Al Firdaus (QS. Al Kahfi : 108), dan berbagai penamaan lainnya.[6]
Pintu-Pintu Surga
Surga memiliki pintu-pintu. Dalam sebuah hadits dari shahabat Sahl bin Sa’ad radhiyallaahu anhu dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, “Di dalam surga terdapat delapan pintu, diantaranya adalah Ar Rayyan. Tidak ada yang memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa”[7]. Dari Utbah bin Ghazawan radhiyallaahu anhu, beliau berkata mengenai lebar tiap pintu surga, “Rasulullah bersabda kepada kami bahwasanya jarak antara daun pintu ke daun pintu surga lainnya sepanjang perjalanan empat puluh tahun, dan akan datang suatu hari ketika orang yang memasukinya harus berdesakan”.[8]
Tingkatan Surga
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya surga terdiri atas seratus tingkat, jarak antara dua tingkatnya seperti jarak antara langit dan bumi, Allah menyediakannya untuk orang-orang yang berjihad di jalan-Nya”[9]. Tingkatan surga yang paling tinggi ialah Firdaus. Nabi memerintahkan ummatnya untuk berdoa memohon Firdaus melalui sabdanya, “Jika kalian meminta pada Allah mintalah kepadaNya Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling utama, dan merupakan tingkatan tertinggi dari surga, diatasnya terdapat ‘Arsy Ar Rahman dan dari Firdaus itulah memancar sungai-sungai surga”[10]
Bangunan-Bangunan dalam Surga
“Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya mereka mendapat tempat-tempat yang tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi” (QS. Az-Zumar : 20). Dari Abu Musa Al Asy’ari dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau bersabda, “Sesungguhnya bagi orang-orang mukmin di dalam surga disediakan kemah yang terbuat dari mutiara yang besar dan berlubang, panjangnya 60 mil, di dalamnya tinggal keluarganya, di sekelilingnya tinggal pula orang mukmin lainnya namun mereka tidak saling melihat satu sama lain.”[11]
Makanan Penghuni Surga
“Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqi’ah : 20-21). Adapun buah-buahan surga adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala (yang artinya), “Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : ‘Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa” (QS. Al Baqarah : 25). Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan keserupaan dalam ayat diatas dengan, “Ada yang berpendapat serupa dalam hal jenis, namun berbeda dalam penamaan, ada pula yang berpendapat saling menyerupai satu sama lain, dalam kebaikannya, kelezatannya, kesenangannya, dan semua pendapat tersebut benar.”[12]
Minuman Penghuni Surga
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari piala (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Insan : 5-6). Ibnu Asyur menjelaskan mengenai kafur “Yaitu minyak yang keluar dari tanaman mirip oleander yang tumbuh di negeri Cina, ketika usianya telah mencapai satu tahun mengalir dari dahannya minyak yang disebut kafur. Minyak tersebut kental, dan apabila bercampur dengan air jadilah ia minuman memabukkan”[13]. Oleh karena itu, “ka’san” dalam ayat ini maksudnya ialah piala yang biasa menjadi wadah khamr, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain. Kata “ka’san” ini juga dipakai dalam ayat, “Di dalam syurga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe” (QS. Al Insan : 17) dan maksudnya ialah minuman arak yang telah bercampur jahe, karena bangsa Arab dahulu biasa mencampur arak dengan jahe untuk menghilangkan bau busuk yang timbul darinya.

Dahsyatnya Neraka

Neraka disiapkan Allah bagi orang-orang yang mengkufuri-Nya, membantah syariat-Nya, dan mendustakan Rasul-Nya. Bagi mereka adzab yang pedih, dan penjara bagi orang-orang yang gemar berbuat kerusakan. Itulah kehinaan dan kerugian yang paling besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (QS. Ali Imran : 192). Demikian pula firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Az Zumar : 15). Itulah seburuk-buruk tempat kembali. “Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Furqan : 66)
Penamaan Neraka
An Naar, neraka secara bahasa ialah kobaran api (al lahab) yang panas dan bersifat membakar. Secara istilah bermakna, suatu tempat yang telah disiapkan Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah mela’nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)” (QS. Al Ahzab : 64). Neraka memiliki beragam nama selain an naar, diantaranya Jahannam (lihat QS. An Naba’ : 21-22), Al Jahim (QS. An Naziat : 36), As Sa’ir (QS. Asy Syura : 7), Saqar (QS. Al Mudatsir : 27-28), Al Huthomah (QS. Al Humazah : 4), dan Al Hawiyah (QS. Al Qari’ah : 8-11)
Pintu-Pintu Neraka
“Jahannam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.” (QS. Al Hijr : 44). Pintu yang dimaksud ialah bertingkat ke bawah, hingga ke bawahnya lagi, disediakan sesuai dengan amal keburukan yang telah dikerjakan, sebagaimana ditafsirkan oleh Syaikh As Sa’diy.
Kedalaman Neraka
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu, “Kami bersama Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh. Maka Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bertanya, ‘Tahukah kalian apakah itu?’ Kami pun menjawab, ‘Allah dan RasulNya lebih mengetahui’. Rasulullah berkata, ‘Itu adalah batu yang dilemparkan ke dalam neraka sejak tujuh puluh tahun lalu. Batu itu jatuh ke dalam neraka, hingga baru mencapai dasarnya tadi’. [14]
Bahan Bakar Neraka
“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 24). Batu yang dimaksud dalam ayat ini ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan sebagian besar pakar tafsir dengan belerang, dikarenakan sifatnya yang mudah menyala lagi busuk baunya. Sebagian pakar tafsir juga berpendapat bahwa yang dimaksud batu di sini, ialah berhala-berhala yang disembah, sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS. Al Anbiya : 98)
Panas Api Neraka
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihi wa salam bersabda, ‘Api kalian, yang dinyalakan oleh anak Adam, hanyalah satu dari 70 bagian nyala api Jahannam. Para shahabat kemudian mengatakan, ‘Demi Allah! Jika sepanas ini saja niscaya sudah cukup wahai Rasulullah! Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya masih ada 69 bagian lagi, masing-masingnya semisal dengan nyala api ini’”.
Makanan Penghuni Neraka
Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” (QS. Al Ghasiyah : 6-7). Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, “Itu adalah pohon dari neraka”. Said bin Jubair berkata, “Itu adalah Az Zaqum (pepohonan berduri bagi makanan penghuni neraka)”. Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud ialah batu.
Minuman Penghuni Neraka
Di hadapannya ada Jahannam dan dia akan diberi minuman dengan air nanah, diminumnnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya” (QS. Ibrahim : 16-17). Yaitu mereka diberi air yang amatlah busuk baunya lagi kental, maka merekapun merasa jijik dan tidak mampu menelannya. “Diberi minuman dengan hamiim (air yang mendidih) sehingga memotong ususnya” (QS. Muhammad : 47). Hamiim ialah air yang mendidih oleh panasnya api Jahannam, yang mampu melelehkan isi perut dan menceraiberaikan kulit mereka yang meminumnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka)” (QS. Al Hajj : 20).[15]
Mengingat Nikmat Surga dan Adzab Neraka Sumber Rasa Khusyu’ dalam Hati
Yahya bin Mu’adz berkata, “Rasa takut di dalam hati bisa tumbuh dari tiga hal. Yaitu senantiasa berpikir seraya mengambil pelajaran, merindukan Surga seraya memendam rasa cinta, dan mengingat Neraka seraya menambah ketakutan.” Hendaklah diri kita tidak pernah merasa aman dari adzab neraka. Sulaiman At Taimi pernah berkata, “Aku tidak tahu apa yang tampak jelas bagiku dari Rabbku. Aku mendengar Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS. Az Zumar : 47).[16] Semoga tulisan ini dapat menambah rasa takut dan harap kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memotivasi kita untuk meningkatkan amal shalih, dan menjauhi larangan-laranganNya.
Penulis: Yhouga Ariesta M
Artikel www.muslim.or.id

[1] A’lamus Sunnah Al Mansyurah (hal. 134-135). Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullah. Tahqiq : Dr. Ahmad bin Ali ‘Alusyi Madkhali. Cetakan Maktabah Ar Rusyd.
[2] Bagaimana Cara Beragama yang Benar? Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais. Terjemah : Muhammad Abduh Tuasikal, ST. Pustaka Muslim.
[3] HR. Bukhari [3244] dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu anhu
[4] HR. Bukhari [3250]
[5] Al-Yaumul Akhir : Al Jannatu wa An-Naar (hal. 117-118). Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar. Cetakan Daar An-Nafais.
[6] Al Jannatu wa An Naar, Abdurrahman bin Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani rahimahullahu ta’ala, dengan tahqiq : Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani hafizhahullah
[7] HR. Bukhari [6/328] dan Muslim [8/32]
[8] HR. Muslim [2967]
[9] HR. Bukhari [6/11] dan Muslim [13/28]
[10] Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Kitabus Sunnah [581]
[11] HR. Bukhari [6/318], Muslim [17/175], dan Tirmidzi [6/10]
[12] Taisir Karim Ar Rahman fii Kalam Al Mannan, Syaikh As Sa’di, Muassassah Ar Risalah. Asy Syamilah.
[13] At Tahrir wa At Tanwir, Ibnu Asyur, Mawqi’ At Tafasir. Asy Syamilah.
[14] HR. Muslim 2844
[15] Disarikan dari Tadzkiyah Al Abrar bi Al Jannati wa An Naar. Dr. Ahmad Farid. Maktabah Al Mishkat Al Islamiyah.
[16] “1000 Hikmah Ulama Salaf”. Shalih bin Abdul Aziz Al Muhaimid, diterjemahkan oleh Najib Junaidi, Lc. Pustaka Elba hal. 316-317
Dari artikel Nikmatnya Surga, Dahsyatnya Neraka — Muslim.Or.Id

Gambaran Surga Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah

Surga itu adalah tempat kenikmatan yang kekal sempurna yang tidak ada didalamnya kekurangan sama sekali. Ia disediakan ALLAH bagi mereka yang mentaati Perintah-Nya dan tidak mengingkari Kebenaran yang dibawa Rasul-Rasul-Nya, yakni orang-orang yang beramal shaleh semasa hidup didunia.

Tidak ada kenikmatan didunia yang dapat menandingi kenikmatan yang disediakan ALLAH didalamnya. ALLAH SWT didalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah :


"Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shaleh segala sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia"
Kemudian Rasulullah bersabda, 'bacalah jika kalian mau"

"Seorang pun tidak mengetahuinya apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" (QS As Sajdah :17)

Disurga manusia tidak pernah merasa susah atau capek-capek. Tidak ada kebosanan serta usaha yang keras, sebab kerja keras sudah dilakukan semasa di Dunia dengan berjuang sekuat-kuatnya mempertahankan iman dan ketaqwaan kepada ALLAH. Di surga tinggal memetik hasilnya saja, hasil dari amal-amal kita semasa hidup didunia. Kita disana tidak akan pernah menjadi tua dan tidak pernah mati.

Rasul SAW bersabda :"Diserukan oleh orang yang menyerukan 'wahai penduduk surga, sesungguhnya untukmu adalah kesehatan, maka kamu tidak akan sakit selamanya. Untuk kamu adalah kehidupan, maka kamu tidak pernah mati selama-lamanya. Untuk kamu selalu muda, maka kamu tidak akan tua selama-lamanya. Untuk kamu selalu bersenang-senang, maka kamu tidak akan susah selama-lamanya....dan seterusnya." (HR. Abu Hurairah)

Dalam Al-Qur'an ALLAH SWT menerangkan :
"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan" (QS. Annisa:14)

"....Dan diserukan kepada mereka: 'ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.'"(QS. Al-Aaraf:43)

" Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar"(QS.At-Taubah:72)

Masih banyak lagi ayat-ayat didalam Al-Qur'an yang menerangkan tentang Surga ini. Diantaranya Al-Baqarah 25, Al-Furqan 10, Al-Hajj 14, Alhajj 23, Al-Aaraf 46, At-Taubah 100, Ath Thalaaq 11, Al-Kahfi 31, Ath Thuur 17, Ath Thuur 23, Al Fath 5, Al Fath 17, Al Ahqaaf 14, Al Jaatsiyah 30, Az Zukhruf 73, dan ada banyak lagi..

Didalam Hadits Rasulullah juga menerangkan :
"Bahwa penduduk surga itu saling melihat orang yang berada dikamar di atas mereka, sebagaimana kamu melihat bintang-bintang yang ada diufuk timur maupun barat dikarenakan kurang-lebihnya diantara mereka. Para sahabat bertanya, 'Ya Rasul, itu adalah tempat para Nabi, yang tidak akan dicapai kecuali mereka ?'. Nabi SAW menjawab 'tidak! demi Tuhan yang diriku dalam kekuasaan-Nya, mereka itu laki-laki yang beriman kepada ALLAH dan membenarkan para utusan". (HR Imam Bukhari-Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudri ra)

1. Tingkatan-tingkatan Surga dan Penghuninya
Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa beriman kepada ALLAH dan Rasul-Nya dan mendirikan shalat serta berpuasa di bulan Ramadhan, maka wajib bagi ALLAH untuk memasukkannya ke dalam surga. Dan orang yang berjihad dijalan ALLAH atau duduk di negerinya dimana ia dilahirkan. Maka sahabat berkata : 'Ya Rasulullah, tidakkah kamu beritakan kepada orang-orang ?" Rasul SAW menjawab : "Sesungguhnya di dalam surga ada seratus tingkatan yang disediakan ALLAH bagi orang-orang yang berjihad di jalan ALLAH, jarak antara dua tingkatan seperti antara langit dan bumi. Maka apabila kamu memohon kepada ALLAH, mohonlah (surga) Firdaus kepada-Nya, karena ia terletak ditengah surga-surga yang tertinggi'. Saya rasa beliau mengucapkan :'Dan diatas-Nya ada Arsy Ar-Rahman dan dari situ dipancarkan sungai-sungai surga". (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra).

Dalam riwayat lain dijelaskan :
"Sesungguhnya penghuni tingkatan-tingkatan yang tinggi bisa terlihat orang-orang dibawah mereka sebagaimana kalian melihat bintang yang naik di cakrawala langit, dan sesungguhnya Abu Bakar dan Umar termasuk dari mereka dan keduanya bersenang-senang". (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dari Abi Said).

Menurut Al-Qurthubi, bahwa kamar-kamar disurga itu berbeda-beda dalam ketinggian dan sifatnya sesuai dengan perbedaan amal-amal para penghuninya. Sebagiannya lebih tinggi dan mulia dari pada sebagian yang lain. Penghuni tingkatan yang tinggi berada dalam kenikmatan yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang dibawah mereka. ALLAH telah menyebutkan bahwa Dia menyediakan dua surga bagi orang-orang yang takut.

"Dan bagi yang takut saat menghadap Tuhannya ada dua surga". (QS Ar-Rahman:46).

“Dan selain dari dua surga itu ada dua syurga lagi” (QS Ar Rahman:62)

Menurut Ibnu Abbas dan Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa dua surga yang pertama itu disediakan ALLAH untuk para muqaribbin. Sedangkan dua surga yang dibawahnya diperuntukkan mereka dari golongan kanan.

Perbedaan keduanya terkait dengan sifat yang ada didalamnya. Seperti Firman ALLAH :
“Di dalam kedua syurga itu ada dua buah mata air yang mengalir” (QS. Ar Rahman 50), sedangkan dua surga yang dibawahnya :
“Di dalam kedua syurga itu ada dua buah mata air yang memancar” (QS. Ar Rahman:66).

Begitu juga mengenai buah-buahan yang ada didalamnya. Dalam dua surga yang pertama terdapat macam-macam : “… buah-buahan yang berpasangan” (QS Ar Rahman: 52), sedangkan dua surga dibawahnya hanya disebutkan : “ada (macam-macam buah-buahan dan kurma serta delima". (QS. Ar Rahman: 68).

Dalam dua surga pertama ALLAH berfirman :
“Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di kedua syurga itu dapat (dipetik) dari dekat” (QS Ar Rahman:54).
Sedangkan dua surga dibawahnya ALLAH menerangkan :
“Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah” (QS Ar Rahman :76).

Selanjutnya disebutkan pula mengenai sifat-sifat bidadari yang ada didalamnya. Dalam dua surga yang pertama, ALLAH menyebutkan : “Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan” (QS Ar Rahman : 58). Sedangkan bidadari yang ada dalam dua surga dibawahnya disebutkan ALLAH : “Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik- baik lagi cantik-cantik” (QS Ar Rahman:70).

Mengenai derajat surga yang paling rendah dan paling tinggi, Rasulullah SAW menyebutkan :
“Musa bertanya kepada Tuhannya : ‘siapakah penghuni surga yang terendah derajatnya ?’
Allah menjawab : ‘ia adalah seorang anak laki-laki yang dating sesudah penghuni surga dimasukkan kesurga. Kemudian dikatakan kepadanya : ‘masuklah kedalam surga’. Maka ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bagaimana ? Orang-orang telah menempati tempat-tempat mereka dan mengambil bagian-bagian mereka ?’. Maka dikatakan padanya : ‘Tidakkah engkau suka memiliki seperti kerajaan seorang raja didunia ?’. Orang itu menjawab : ‘aku rela Wahai Tuhanku’ Maka ALLAH berkata : ‘bagimu kerajaan ini sepuluh kali seperti itu dan bagimu apa yang disukai oleh dirimu dan menyedapkan pandanganmu’. Orang itu berkata : ‘ Aku rela wahai Tuhanku’. Musa berkata : ‘ya Tuhanku, siapakah orang yang paling tinggi derajatnya disurga ?’ ALLAH menjawab : ‘Mereka itu adalah orang-orang yang ku kehendaki, Ku-tanam kemuliaannya dengan kekuasaan-Ku dan Aku segel diatasnya. Maka ia tidak pernah terlihat oleh mata, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia."

Menurut Ibnu Katsir dalam An-Nihayah, orang yang mendapatkan derajat tertinggi di surga itu adalah Wasiilah, yang didalamnya ada kedudukan Rasulullah SAW. Jadi, mendapatkan derajat tertinggi di surga Insya ALLAH adalah Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan diantara mereka yang akan mendapatkan tingkatan tinggi di surga adalah para syuhada'. Dan yang paling utama dari syuhada’ adalah mereka yang berperang dibarisan pertama, dan mereka tidak berpaling sedikitpun hingga mereka terbunuh.

Rasul SAW menerangkan dalam Hadits :
“Para syuhada’ yang paling utama adalah orang-orang yang berperang dibarisan pertama. Mereka tidak memalingkan wajah-wajah mereka sehingga mereka terbunuh. Mereka itu berbaring dikamar-kamar tertinggi disurga. Tuhanmu tertawa pada mereka. Apabila Tuhanmu tertawa kepada seorang hamba disuatu tempat, maka baginya tidak dikenai hisab” (HR. Imam Ahmad dan Thabrani dari Nua’im bin Hammar).

Selain itu juga mereka yang membantu janda dan orang miskin termasuk yang mengasuh anak yatim. Demikian juga, orang tua yang karena kebaikan do’a anak-anaknya. Kesemuanya itu termasuk mereka yang mendapat derajat tinggi di surga kelak.

A. Makanan dan Minuman Ahli Surga
Makanan disurga jelas saja sangat jauh berbeda dengan didunia. Disana tidak dikenal istilah kuman dan makanan yang membawa bakteri penyakit. Karena disurga tidak ada lagi yang namanya kesusahan sedikitpun.
“sesungguhnya penghuni surga makan dan minum di dalamnya, mereka tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar, dan tidak mengeluarkan ingus. Para Sahabat berkata : ‘Kemana sisa makanannya ?’ Nabi SAW menjawab : ‘menjadi sendawa seperti sendawa misik’". (Shahih Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Didalam surga kita dapat memilih makanan yang kita sukai dari buah-buahan, daging burung dan sebagainya.
Allah menerangkan dalam Al-Qur’an :
“Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata. seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda. dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir. mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih. dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan". (QS Al Waaqi'ah : 15-24)

Muslim meriwayatkan hadits :
Seorang Yahudi bertanya kepada Rasul SAW, “Apakah hidangan mereka ketika masuk surga ?’ Rasul Menjawab : ‘Kelebihan hati ikan’. Ia bertanya lagi : ‘Apakah makanan mereka sesudah itu ?’. Nabi SAW menjawab ‘disembelih bagi mereka sapi surga yang makan dari tanamannya’. Orang itu bertanya : ‘Apakah minuman mereka sesudah itu?’ Nabi menjawab : ‘Dari mata air yang bernama Salsabil’. Orang itu berkata :’Engkau berkata benar.”

Selain itu minuman disurga telah ALLAH siapkan lautan air, lautan susu, lautan madu, dan sungai-sungai yang memancar dari lautan ini, sampai kepada lautan khamar. Hah khamar ???????????
Iya disurga Khamar dihalalkan. Khamar haram di dunia tapi halal di Surga (Akhirat).
Dalam Al-Qur’an ALLAH menerangkan :
“Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya". (QS. Ash Shaaffaat 45-47)

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka….”(QS Muhammad:47)

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya". (QS.Al Insaan 5-6).

B. Para Bidadari Surga
Siapa sih yang nggak tau bidadari? Mungkin kata-kata bidadari udah akrab sekali nempel dikuping kita di kehidupan sehari-hari. Terutama lewat lagu-lagu Padi, Ada Band, . Atau lewat cerita-cerita tradisional atau cerita nenek-nenek kita yang sangat sering menyebut istilah “bidadari turun dari kayangan”. Tapi apakah sudah kenal siapa itu bidadari? Hehehe.. Yuk kenalan ama Bidadari…
Mengenai ini kita bisa membuka Al-Qur’an surat Ad Dukhan ayat 54. Disana ALLAH menjelaskan : “demikianlah, dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari”

Mengenai sosoknya ALLAH sudah menerangkan didalam Al-Quran dibeberapa ayat. Diantaranya :

Surat Al-Waqi’ah 22-23.
“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik”.


Baik disini tentu tidak sama dengan versi baiknya kita didalam kehidupan dunia. Baik yang di katakan ALLAH ini tentu sesuatu yang sangat sangat baik. Soalnya ALLAH yang mengatakannya.

Surat Ar Rahman 56 sampai 58 :
“Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ? Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan. "

Berkenaan dengan Surat Ar Rahman Ayat 58 diatas, Rasulullah SAW bersabda :
“Wajah bidadari dipandang dalam penutupnya itu lebih bersih dari pada cermin. Mutiara (bidadari) yang paling sedikit itu menyinari diantara timur dan barat, yang diatasnya ada 70 lapis pakaian yang bisa tembus oleh penglihatannya. Sehingga ia bisa melihat sum-sum tulang betisnya dari belakang (karena indah)” (HR. Imam Abu Yu’la, melalui Abu Said Al-Khudri ra.)

Rasulullah SAW juga menceritakan : “Andaikata seorang wanita dari wanita surga (bidadari) itu melihat ke bumi, pastilah diantara bumi penuh dengan cahaya. Dan surga itu bau-bauan". (HR. Muslim dari Anas RA)

Menurut Ulama Mujahid, bahwa bidadari-bidadari di surga itu suci. Mereka tidak mengalami siklus duniawi seperti haid, beranak, buang air besar, kencing, meludah, berdahak, dan keluar mani. Sesuai dengan penafsirannya tentang Surat Ali Imran:15
“dan isteri-isteri (pasangan) yang suci”

Rasulullah bersabda :
“Tidak ada seorang yang masuk surga, kecuali bilamana ia duduk pada sisi kepala dan kakinya ada dua bidadari yang menyanyi untuknya, dengan suara yang indah, yang bisa didengarkan oleh manusia dan jin. Itu bukanlah semacam serunai setan (musik yang menimbulkan syair kejahatan) melainkan merupakan pujian dan pensucian kepada ALLAH SWT” (HR. Thabrani dari Abu Amamah Al-Bahily)

C. Pakaian dan Perabotan Ahli Surga
Dalam surga disediakan istana-istana, tempat-tempat duduk dikebun, dan tanaman-tanamannya disiapkan dengan berbagai pemadani yang indah untuk duduk-duduk dan bersandar dan sebagainya. Tempat-tempat tidur disurga terbuat dari sutra.
“Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar". (QS Al Ghaasyiyah 13-16).

“Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di kedua syurga itu dapat (dipetik) dari dekat.” (QS Ar Rahman : 54)

“Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian, Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan” (QS Al-Waqi’ah:13-16)

Allah juga menerangkan :
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” (QS Al Hajj:23)

D. Kenikmatan Tertinggi : Melihat Wajah ALLAH Yang Maha Mulia
Tidak ada kenikmatan penghuni surga yang melebihi kenikmatan yang terakhir ini. Yakni kenikmatan merindukan ALLAH dan dapat melihat Wajah ALLAH Yang Maha Agung. Ibnu Katsir menyatakan, bahwa melihat ALLAH adalah puncak tertinggi dalam kenikmatan akhirat dan derajat tertinggi dan berbagai pemberian ALLAH yang istimewa.
Ini sesuai dengan Firman ALLAH didalam Al-Qur’an :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah:22-23).

Rasul SAW bersabda :
“Ketika penghuni surga masuk surga, ALLAH swt berkata : ‘apakah kalian menginginkan supaya Aku menambah sesuatu ?’ Mereka kemudian menjawab: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami ? Bukankan Engkau telah memasukkan kami kedalam surga dan menyelamatkan kamu dari neraka ?’ Nabi SAW bersabda : ‘Kemudian tabir disingkapkan, maka mereka tidak diberi sesuatu yang lebih mereka sukai daripada memandang kepada Tuhan mereka ALLAH TABARRAKA WA TA’ALA.” (HR. Muslim dan Tirmidzi dari Shuaib Ar-Rumi ra).

2. Sifat Surga
Sebagai manusia yang sangat kecil dan tidak tahu apa-apa ini , tentu kita tidak bisa membayangkan bentuk surga itu secara persis. Paling-paling bayangkan kita tentang surga 99,999 % masih memasuk-masukan bentuk alam bumi ini. Hehe… ketika membayangkan bentuk kamar-kamar disurga malah yang adanya kembali ada bayangan kamar sendiri. Padahal tidak seperti itu. Surga sangat sangat jauuuuuuuuuuh perbandingannya dengan bumi yang kita diami sekarang. Paling-paling kita hanya bisa membayangkannya seadanya saja, Sesuai dengan batas taraf pemikiran manusia bumi yang lemah seperti kita ini.

"Tanah disurga itu adalah misik yang putih bersih" (Shahih Muslim dan Musnad Imam Ahmad).
Seperti yang diriwayatkan Shahihain dari Anas bin Malik dari Abi Dzaar dalam hadist mi’raj ia bersabda : “Aku dimasukkan dalam surga. Ternyata didalamnya terdapat batu-batu mutiara dan tanahnya dari misik”

Mengenai sungainya Rasul SAW menerangkan :
“Ia adalah sebuah sungai yang diberikan ALLAH kepadaku di surga. Tanahnya adalah misik, airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis dari pada madu. Sungai itu didatangi burung-burung yang lehernya seperti leher unta” (HR. Ahmad).

Allah juga menerangkannya didalam Al Quran :
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya ?” (QS Muhammad: 15)

Perihal rumah di surga diterangkan oleh Nabi dalam Haditsnya :
Jibril mendatangi Rasulullah SAW dan berkata :
”Ya Rasulullah, ini khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan makanan. Jika ia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhan dan dariku, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah baginya di surga dari emas, tidak ada keributan di dalamnya dan tidak ada kepayahan” (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah ra).
Nabi Muhammad juga menerangkan tentang bau surga yang harum dapat tercium baunya dari jarak empat puluh tahun. Dalam shahih Bukhari, Musnad Ahmad, Sunan Nasai dan Ibnu Majah diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“barangsiapa membunuh mu’ahid (orang kafir yang berdamai dengan kaum muslimin), maka ia tidak mencium bau surga, padahal baunya dapat tercium dari jarak 40 tahun”

Dan masih sangat banyak lagi sifat-sifat surga yang Sangat Indah yang tidak dapat kita gambarkan secara rinci satu persatu. Ini hanya sebagian kecil saja yang dapat kita gambarkan yang tentu saja hanya merupakan titik yang sangat kecil dari pada gambaran surga yang sebenarnya. Seperti kemah, buah-buahan, binatang-binatang surga dan seterusnya. Namun yang terpenting bagi kita adalah hikmah bagi kita semua. Semoga kita merupakan salah satu hamba yang diperkenankan ALLAH untuk menjadi penghuni surganya, Amin…