Tampilkan postingan dengan label Makalah Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Juni 2013

Meninjau Ulang Pendekatan Whole Language Pada Pengajaran Bahasa Indonesia

Penerapan pendekatan keterampilan merupakan modal utama bagi seorang guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di Sekolah. Selain itu juga perencanaan dalam melaksanakan pembelajaran harus diperhatikan. Dengan memperhatikan perencanaan dan perkembangan perencanaan bahasa, guru dituntut untuk dapat menyusun perencanaan dan pengembangan program dalam pengajaran, yang bertolak dari berbagai pendekatan yang dapat dipergunakan.

Penolakan / Kontra Terhadap Pendekatan Whole Language.

Pendekatan Whole Language yaitu pendekatan dirancang dengan menggunakan tema atau topic-topik tertentu. Pendekatan itu menurut hemat penulis memang kurang akurat. Seperti kita ketahui bahwa pendekatan dengan menggunakan tema atau topic-topik hanya dilakukan di Kelas I sampai Kelas III. Berarti pendekatan Whole Language hanya bias digunakan untuk kelas rendah saja. Padahal pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya dipelajari di Kelas rendah, untuk Kelas IV keatas, malah sampai perguruan tinggi pun bahasa Indonesia masih tetap dipelajari dan didalami. Dengan hanya bertilak dari tema- tema atau topic-topik tertentu berarti hasil yang diharapkan tidak akan maksimal sebab tema-tema tersebut tidak sepenuhnya mengacu pada pembelajaran bahasa Indonesia yang diharapkan, juga komponen-komponen pengembangan pendekatannya kurang sistematis.

Apalagi dalam merancang suatu pendekatan itu prosedurnya harus jelas, logis dan rasional. Jadi dalam rancangannya itu pengembangan komponen-komponennya harus berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Akan tetapi setelah dipahami komponen-komponen itu tidak tercantum dalam pendekatan Whole Language. Pendekatan Whole Language yang mengintegrasikan tema-tema dengan mata pelajaran yang lainnya.

Solusi Dari Permasalahan / Penolakan Pendekatan Whole Language.

Yang menjadi titik tolak dari permasalahan ini yaitu:

1. pendekatan Whole Language yang kurang sistematis, maksudnya karena dalam pendekatan itu harus tersusun dari mulai langkah-langkah, perumusan tujuan, dan komponen-komponen.

Seperti halnya dalam kehidupan kita, hanpir seluruh kehidupan ini mengarah kepada suatu system. Demikian pula lembaga-lembaga pendidikan, pemerintah, kemasyarakatan atau juga bahasa, merupakan senuah system. Di dalam system itu terdapat sebuah sub system yang masing-masing sub system itu saling terkait untuk menuju suatu kesatuan yang terorganisir dalam mencapai tujuan.

Seperti yang dikemukakanh oleh James Harvey “Suatu prosedur yang lodis dan rasional untuk merancang suatu pengembangan komponen-komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Metodologisnya mencakup penspesifikasian tujuan-tujuan dalam perumusan yang terukur, pengembangan dari pendekatan-pendekatan yang mungkin, seleksi sarana-sarana yang sesuai guna terciptanya tujuan-tujuan, memadukan pendekatan-pendekatan menjadi lebih terpadu dan pengevaluasian keefektifan system itu dalam mencapai tujuan”.

Selain itu juga ada metode yang mendukung terhadap ketidak setujuan dari pendekatan Whole Language yaitu pendekatan system / pendekatan structural. Berdasarkan pendekatan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:
  • pendekatan system mengarah pada suatu urutan langkah-langkah / tindakan-tindakan yang masuk akal (logis) dan telah diperhitungkan masak-masak (rasional) serta bertujuan.
  • Perumusan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dinyatakan secara spesifik (khusus) atau tidak kabur dan terukur sehingga lebih mudah untuk dievaluasi apakah tujuan itu telah tercipta secara efekyif.
  • Komponen-komponen yang terlibat tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi bekerja sebagai suatu system yang tepadu.
  • Ada mekanisme kontrol yang mengevaluasi secara regular kegiatan-kegiatan dalam system itu sehingga berlangsung secara efektif dan efisien.
Inilah salah satu kebaikan pendekatan system dalam perencanaan pendidikan dan pengajaran. Pendekatan system ini terdiri atas sejumlah unsur-unsur program yang terpadu atau terintegrasi (pendekatan structural).

2. dalam pendekatan Whole Language tidak tercantum komponen-komponen atau unsure-unsur program diantaranya adalah tujuan-tujuan program, seleksi dasar, seleksi dasar kegiatan belajar mengajar, rasional dan pendekatan terhadap evaluasi, karakteristik-karakteristik siswa, klim situasi kelas, system penunjang administrasi, karakteristik-karakteristik guru dan gaya implementasi. Unsur-unsur itulah yang harus diperhatikan dalam perencanaan.

Hal ini sesuai dengan pendekatan structural yang sangat baik dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan structural untuk mengidentifikasi unsur-unsur program.

Sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia serta sesuai dengan pokok-pokok. Kebijaksanaan pendidikan dan kebudataan dalam GBHN, fungsi bahasa Indonesia dlam hubungannya dengan pendidikan nasional adalah sebagai mata pelajaran dasar pokok, sebagai bahasa pengantar disemua jenis dan jenjang pendidikan, sebagai bahasa penalaran, sebagai bahasa pengungkap pengembangan diri hasil pendidikan.

Sebagai mata pelajaran dasar pokok, bahasa Indonesia yang diajarkan adalah bahasa dengan cirri serta syarat ragan bahasa baku, baik ragam lisan maupun tulisan dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa kebudayaan yang berfungsi sebagai bahasa moderen.

Sebagai bahasa pengantar, penalaran dan pengungkapan pengembangan diri, bahasa Indonesia yang dipakai dilembaga pendidikan mempunyai cirri-cirinya yaitu mempunyai kemampuan menjalankan tugas sebagai alat komunikasi, penyampaian informasi secara tepat dengan berbagai konotasi,juga mempunyai keluwesan sehingga dapat dipergunakan untuk mendeskripsikan atau mengekspresikan makna-makna baru.

Sebagai alat pengungkap rasa dan ilmu yang tumbuh dan terus berkembang, bahasa Indonesia tentu saja tidak terhindar dari sentuhan dan pengaruh masyarakat yang memahaminya, baik yang berupa perubahan nilai dan struktur maupun berupa tingkah laku sosial lain.

Kesimpulan 
Dari pemaparan tersebut daoat disimpulkan bahwa pendekatan Whole Language masih kurang sistematis karena dalam suatu pendekatan itu semua system / komponen-komponen yang terlibat harus terorganisasi tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi bekerja sebagai suatu system yang terpadu.

DAFTAR PUSTAKA 
Hidayat, kosadi dan Rahmina, Iim. 1990. Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: Binacipta.

Yang berminat membeli busana muslim silahkan kunjungi : Baju Koko Murah.

Kamis, 13 Juni 2013

Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini | Artikel

Batasan tentang masa anak bisa bervariasi, tergantung kepada dasar pembatasan yang digunakan dan atau teori yang dirujuknya. Dalam pandangan mutakhir yang lazim dianut di negara-negara maju, istilah anak usia dini (early childhood) adalah anak yang berlatar antara usia 0-8 tahun. Kalau dilihat dari fase-fase pendidikan yang ditempuh oleh anak di Indonesia, maka yang termasuk kedalam kelompok anak usia dini ini adalah anak usia SD kelas-kelas rendah (kelas 1-3), Taman Kanak-Kanak (Kindergarten), Kelompok Bermain (Play Group), dan anak masa sebelumnya (masa bayi).
Karakteristik perkembangan anak usia diniSesuai dengan topik bahasan, anak yang dimaksud disini adalah anak usia prasekolah. Secara kronologis, mereka adalah yang berusia di bawah enam tahun.

A. Pandangan Beberapa Ahli Tentang Anak

Siapakah anak itu? Pertanyaan ini sungguh menarik, khususnya bagi para ahli pendidikan. Sejak lama banyak tokoh pendidikan yang mengutarakan pendapatnya berkenaan dengan pertanyaan tersebut.

Kalau diamati, pandangan orang atau para ahli pendidikan tentang anak itu cendeung berubah dari waktu ke waktu, dan kadang berbeda satu sama lain. Kadang anak dipandang sebagai makhluk yang sudah terbentuk oleh bawaannya dan kadang pula ia dipandang sebagai makhluk yang dibentuk oleh lingkungannya, kadang ia dianggap sebagai miniatur orang dewasa, tapi kadang pula ia dianggap sebagai individu yang berbeda total dari orang dewasa. Adanya perbedaan ini dapat mencerminkan bahwa para ahli hanya mencoba memahami dan merefleksikan pemahaman mereka tentang anak sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Karena itu sangatlah difahami adanya suatu pandangan yang menyatakan bahwa hakikat anak itu sebenarnya tidak pernah berubah yang berubah itu adalah perspektif atau kesan orang tentang anak.

Kalau kita, sebagai umat beragama, kembali kepada keyakinan yang kita anut, tentu kita bisa mengatakan bahwa yang tahu tentang hakikat anak itu adalah Dia Sang Maha Pencipta. Dia yang menciptakan dan Dia pula yang Maha Tahu tentang ciptaannya. Tampaknya disinilah hikmahnya hakikat anak sebagai suatu misteri. Kerahasiaan hakikat anak ini membuat para ahli terus berfikir dan mencari konsep yang benar tentang anak. Dari upaya-upaya mereka itulah lahir berbagai konsep, gagasan, dan model tentang pendidikan anak sehingga dunia pendidikan anak terus berkembang dari waktu ke waktu.

Pemikiran di atas mengimplikasikan bahwa mempelajari pandangan para ahli itu bukan menempatkan sesuatu yang sia-sia. Kita diperintahkan oleh Tuhan untuk terus memikirkan dan mempelajari berbagai hal yang menjadi ciptaan-Nya, termasuk anak. Yang terlarang adalah bila kita mencoba berpikir-pikir tentang Dzat Sang Maha Pencipta, dan memang kita tidak akan pernah mampu melakukannya. Di mata kita, umat beragama, adanya perbedaan dan perubahan itu adalah hikmah dan anugrah dari Allah SWT. Pada syariatnya, karena adanya perbedaan itulah dunia ilmu pengetahuan menjadi berkembang terus. Terjadinya perubahan pandangan juga bukan merupakan suatu dosa atau kekeliruan masa lalu, melainkan merupakan refleksi dari dinamika pemikiran yang pada gilirannya menjadi anugrah kemajuan yang diwariskan kepada manusia.

Selain itu, pandangan seseorang tentang anak akan mendasari dan mengarahkan cara yang bersangkutan dalam mendidik anak. Karena itu pemahaman terhadap pandangan beberapa tokoh pendidikan anak ini diharapkan akan membuat kita semakin menyadari dasar dan arah perlakuan kita dalam mendidik anak. Kita diharapkan akan lebih sadar tentang kemana kita akan membawa anak dan mengapa kita berbuat demikian.

Sebenarnya cukup banyak tokoh pendidikan anak di muka bumi ini. Karena itu tidaklah mungkin uraian ini dapat mengungkapkan semua pandangan mereka. Uraian ini terbatas pada mendeskripsikan pandangan beberapa tokoh yang dianggap cukup berpengaruh dalam perkembangan pendidikan prasekolah di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Pandangan Pestalozzi

Nama lengkapnya adalah Johann Heinrich Pestalozzi. la adalah seorang ahli pendidikan Swiss yang hidup pada tahun 1747-1827. la memberikan pengaruh cukup besar terhadap dunia pendidikan anak karena pembaharuan-pembaharuan yang dilakukannya dalam praktek pendidikan pada saat itu.

Pada sekitar pertengahan abad 18, pandangan terhadap anak di dunia barat masih didominasi oleh pengaruh faham gereja. Pada saat itu anak dipandang secara negatif, yakni berpembawaan jahat dan membawa dosa asal manusia. Untuk membebaskan anak dari dosa bawaan tersebut, anak perlu belajar membaca kitab Injil dengan disertai disiplin yang ketat (Roopnarine, J.L. & Johnson, J.E. 1993).

Bertolak belakang dengan pandangan di atas, Pestalozzi meyakini bahwa anak berpembawaan baik. la memandang bahwa eksistensi manusia terjelma da­lam suatu evolusi alam. Perkembangan manusia terjadi dalam desain alam dan terbentuk oleh kekuatan-kekuatan luar. Menurutnya, hukum-hukum fungsional menyebabkan terjadinya suatu proses pertumbuhan dan perkembangan yang sinambung dan bertahap.

Lebih lanjut, ia menggagaskan bahwa masing-masing tahap pertumbuhan dan perkembangan individu harus tercapai dengan sukses sebelum tahap berikutnya mulai. Ketidak berhasilan dalam menyelesaikan suatu tahap per­kembangan dapat menyebabkan hambatan dalam proses perkembangan. selanjutnya.

Dalam hal belajar bagi anak, ia sangat menekankan pengalaman belajar melalui indera pengamatan dan persepsi. Pendidikan inderawi ini bukan sekedar untuk meningkatkan pertumbuhan dan fungsi indera anak, melainkan untuk memberikan pengalaman proses mental kepada anak. Indra adalah pintu gerbang dan sekaligus s&agai sarana untuk terjadinya proses mental pada anak.

Kalau ditelusuri ke belakang, pandangan Pestalozzi di atas tampak sangat dipengaruhi oleh pemikiran Plato yang memandang anak sebagai masa elastis dan ekspresi dari kebaikan bawaan dan juga oleh Comenius yang memandang pengalaman-pengalaman sensori dapat membawa ide-ide bawaan ke permukaan kesadaran. John Locke yang memandang anak sebagai subjek bagi pengaruh-pengaruh lingkungan dan Jean Jacques Rouseau yang memfokuskan pandangannya kepada lingkungan alam sebagai sarana untuk pembebasan spirit anak juga merupakan tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh terhadap pemikiran Pestalozzi.

Sejalan dengan pandangannya di atas, Pestalozzi mengembangkan suatu sistem pendidikan yang dikenal dengan pendidikan dasar (elementary education), yakni suatu sistem pendidikan yang dirancang untuk mengintegrasikan perkembangan fisik, mental, dan moral melalui latihan pengamatan indra dan refleksi.
Pandangan Froebel

Friendrich Froebel (1782-1852) adalah salah satu tokoh pendidikan anak usia dini Eropa (Jerman) yang sangat berpengaruh. Pengaruhnya tidak saja terbatas di negara-negara barat, melainkan juga di negara-negara lain di dunia, termasuk di Indonesia.

Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang lajim pada saat itu menekankan kepada perawatan anak, lembaga pendidikan Froebel lebih terfokus kepada pendidikan anak sebagai alat reformasi sosial. Froebel menyediakan pelayanan pendidikan anak usia dini tidak sekedar untuk membantu merawat anak-anak dari keluarga yang tidak mampu dan atau yang ibunya bekerja, tetapi ia jauh memandang ke depan. la menyiapkan program pendidikan pra­sekolah itu sebagai sarana untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang lebih baik di masa mendatang.

Pandangannya tentang anak atau manusia banyak dipengaruhi oleh Pestalozzi dan para Filosuf Yunani pada saat itu la sangat dipengaruhi oleh faham transcendentalism yang memandang adanya sifat ketuhanan pada diri manusia. Menurutnya, baik manusia dan alam merefleksikan suatu unitas dengan Tuhan. Ini dikenal dengan prinsip unitas (the principle of unity) dalam pandangan Froebel.

Selanjutnya, Froebel memandang anak secara positif. Menurutnya, anak itu pada dasarnya berpembawaan baik (innate goodness) dan berpotensi kreatif (creative potential). Ini berarti bahwa secara bawaan, kecenderungan perkembangan anak itu akan mengarah kepada suatu kehidupan yang baik. Begitu pula anak sebenarnya memiliki kemampuan untuk mencipta dan berkreasi.

Persoalannya adalah terletak pada perlakuan lingkungan, apakah lingkungan cukup memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya tersebut atau sebaliknya. Dalam soal ini Froebel berkeyakinan bahwa potensi-potensi-anak tersebut secara alami akan berkembang kalau kita orang dewasa mampu menyediakan suatu lingkungan yang dikreasi untuk tujuan tersebut.

Menurut Froebel (Roognaire & Johnson, 1993), masa anak itu merupakan suatu fase yang sangat berharga dan dapat dibentuk dalam periode kehidupan manusia ( a noble and malleable phase of human life). Karenanya masa anak adalah masa emas bagi penyelenggaraan pendidikan. Masa anak merupakan fase yang sangat fundamental bagi perkembangan individu karena pada fase inilah terjadinya peluang yang sangat besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.

Sesuai dengan pandangannya di atas, Froebel berkeyakinan bahwa jika orang dewasa mampu menyediakan suatu "taman" yang dirancang sesuai dengan potensi dan bawaan anak tersebut, maka anak akan berkembangan secara wajar. Dari keyakinan ini dirancanglah suatu taman pendidikan bagi anak yang ia sebut Kindergarten (Taman Kanak-kanak). Sesuai dengan prinsip unitasnya, Taman Kanak-kanak Froebel sangat menekankan ikatan atau keterpaduan antara rumah dan sekolah. Begitu pula kepercayaannya akan potensi anak untuk berkreasi, pendidikan ala Froebel sangat menekankan segi self activity dan free play pada anak.

Pandangan Montessori

Maria Montessori (1870-1952) dikenal sebagai tokoh inovasi pendidikan Eropa abad 20. la adalah seorang dokter yang sangat peduli terhadap Ketertarikannya terhadap dunia anak membuat dirinya tidak sekedar memperhatikan aspek pertumbuhan dan kesehatan fisik anak, tetapi juga lebih menekuni dunia pendidikan anak. Dari pengamatan intuitifnya terhadap anak, ia memunculkan ide-ide tentang filsafat dan pendidikan anak.

Pandangan Montessori tentang anak juga tidak lepas dari pengaruh tradisi pemikiran Rouseau. Pestalozzi, dan Froebel yang menekankan pentingnya kondisi lingkungan yang bebas dan penuh kasih sayang untuk dapat berkembangnya potensi bawaan anak. Dengan pandangan John Dewey, filsafatnya juga banyak mengandung kesamaan. Namun, ia menambahkan gagasan-gagasan baru dalam pemikiranya. la sangat menekankan eksistensi anak sebagai suatu entitas tersendiri yang sangat esensial bagi keseluruhan kehidupan manusia. Selain itu, ia juga menggagaskan konsep tentang self-construction dalam perkembangan anak.

Bagi Montessori, anak bukan sekedar suatu fase kehidupan yang dilalui oleh seseorang untuk mencapai kedewasaan. Lebih dari itu, ia memandang anak sebagai kutub tersendiri dari dunia kehidupan manusia. Kehidupan anak dan orang dewasa dianggap sebagai dua kutub yang saling berpengaruh satu sama lain. Kualitas pengalaman kehidupan anak akan mempengaruhi pola prilaku dan kehidupannya di masa dewasa sebaliknya, pola kehidupan dan perlakuan orang dewasa terhadap anak akan mempengaruhi pola perkembangan yang dialami oleh anak la menegaskan (Lillard, 1972: 29),

We ought not to consider the child and the adult merely as successive phases in the individuals life. We ought rather to look upon them as two different forms of human life, going on at the same time, and exerting upon one another a reciprocal influence.

Relevan dengan pandangannya tentang anak, Montessori menganggap pendidikan sebagai upaya membantu perkembangan anak secara menyeluruh, dan bukan sekedar mengajar. Menurutnya, spirit kemanusiaan itu berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya.

Secara lebih lengkap pandangan Montessori tentang anak dapat difahami melalui konsep-konsepnya tentang anak yang mengkonstruksi sendiri per­kembangan jiwanya (child's self-construction), masa-masa sensitif (sensitive periods), jiwa penyerap (absorbent mind), dan hukum-hukum perkembangan (the natural laws governing the child's psychic growth).

Montessori meyakini bahwa secara bawaan anak sudah memiliki suatu pola perkembangan psikis. Pola perkembangan psikis ini merupakan suatu embrio spiritual yang akan mengarahkan perkembangan psikis anak. Pola perkembangan psikis ini tidak teramati pada saat lahir, namun akan terungkap melalui proses perkembangan yang dijalani oleh anak. Selain itu, anak juga memiliki motif yang kuat ke arah pembentukan sendiri jiwanya (self-construction). Dengan dorongan ini anak secara spontan berupaya mengembangkan dan membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungannya.

Meskipun anak sudah memiliki pola psikis bawaan dan dorongan vital untuk mencapainya, tidak berarti bahwa ia membawa model-model prilakunya yang sudah jadi. Dengan demikian anak harus mengembangkan pola-pola perkembangan dan kekuatannya itu sejak lahir melalui pengalaman-pengalaman interaksional pendidikan. Untuk keperluan ini, ada dua kondisi yang diperlukan dalam perkembangan anak (Lillard, 1972) yakni pertama adalah adanya suatu interaksi yang terpadu antara anak dengan lingkungannya (baik benda maupun orang), dan kedua adalah adanya kebebasan bagi anak.

Berdasarkan pengamatannya, Montessori menemukan bahwa dalam perkembangan anak terdapat masa-masa sensitif. Masa-masa sensitif tersebut ditandai dengan begitu tertariknya anak terhadap suatu objek atau karakteristik tertentu dan ceaderung mengabaikan objek-objek yang lain. Hal demikian menyebabkan anak memiliki minat yang kuat untuk mengulangi tindakannya secara relatif lama berkenaan dengan objek-objek yang diminatinya tersebut tanpa adanya alasan yang jelas. Terjadinya pengulangan prilaku yang cukup intens ini akhirnya memunculkan suatu fungsi baru. Masa-masa sensitif tersebut mencakup sensitivitas terhadap keteraturan lingkungan, sensitivitas untuk mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan, sensitivitas untuk berjalan, sensitivitas terhadap objek-objek kecil dan detail, serta sensitivitas terhadap aspek-aspek sosial kehidupan.

Berbeda dengan orang dewasa, jiwa anak itu masih belum terbentuk. Dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya, orang dewasa dapat membangun pengetahuan-pengetahuan lainnya. Sebaliknya, anak harus mulai dari nol untuk membangun pengetahuannya. Gejalan psikis yang memungkinkan anak untuk membangun pengetahuannya itu dikenal dengan konsep absorbent mind. Dengan gejala psikis ini anak dapat melakukan penyerapan tak sadar terhadap lingkungan Kemudian anak menggabungkan pengetahuan secara langsung kedalam kehidupan psikisnya. Kesan-kesan yang diperoleh melalui proses ini tidak semata-mata memasuki jiwa anak, tetapi juga membentuknya. Proses tak sadar tersebut selanjutnya diganti secara berangsur oleh proses atau aktivitas jiwa yang disadari. Terakhir Montessori menggeneralisasikan beberapa hukum yang mengatur proses perkembangan psikis anak Hukum-hukum yang diinaksud adalah :

(1) Hukum kerja (the law of work) menjelaskan bahwa anak mencapai integrasi self melalui kegiatan atau karya mereka

(2) Hukum kebebasan (the law of independence) menerangkan bahwa pada dasarnya perkembangan anak itu secara langsung dan energetik bertujuan ke arah kebebasan fungsional

(3) Hukum kekuatan atensi (the power of attention) mendeskripsikan bahwa pada tahap tertentu anak akan mengarahkan perhatiannya terhadap objek-objek tertentu

(4) Hukum kemauan (the will) menjelaskan bahwa perkembangan kemauan anak terjadi secara lamban melalui aktivitas anak yang sinambung dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang mencakup kemauan untuk mengulang aktivitas kemauan untuk mendisiplin diri sebagai cara hidupnya, dan kemauan untuk mentaati

(5) Hukum perkembangan intelligensi (the intelligence) mendeskripsikan bahwa perkembangan intelligensi anak diawali dengan kesadaran anak terhadap adanya perbedaan-perbedaan dalam lingkungan, membuat persepsi-persepsi melalui kegiatan indrawi, dan kemudian mengorganisasikan persepsi-persepsi tersebut menjadi suatu tatanan yang teratur dalam jiwanya

(6) Hukum perkembangan imajinasi dan kreativitas (the imagination and creativity) mengungkapkan bahwa imajinasi dan kreativitas merupakan kekuatan yang dibawa sejak lahir dan kemudian berkembang di saat kapasitas-kapasitas mental anak dibangun melalui interaksinya dengan lingkungan

(7) Hukum perkembangan kehidupan emosional dan spiritual (the spiritual and emotional life) menyatakan bahwa sejak lahir anak telah memiliki indra-indra yang merespons lingkungan emosional dan spiritual anak dan melalui pengalaman merespons tersebut anak mengembangkan kemampuan untuk mencintai dan memahami respon-responnya terhadap orang lain dan terhadap Tuhan; dan

(8) Hukum tentang tahap-tahap perkembangan anak (the stages of development) menjelaskan bahwa tahap-tahap perkembangan individu dapat dikelompokkan

(9) Sebagai berikut Usia 0-3 tahun (dikarakterisasikan dengan adarrya

(10) Pertumbuhan tak sadar dan penyerapan-penyerapan struktur internal), usia 3-6

(11) Tahun (anak mengalami pergeseran proses perolehan pengetahuan dari ketaksadaran ke proses sadar), usia 6-9 tahun (anak membangun keterampilan-keterampilan akademik dan artistik yang esensial bagi pemenuhan kebutuhan-nya), usia 9-12 tahun (anak siap membuka dMnya untuk pengetahuan alam semesta), dan usia 12-18 tahun (anak mengeksplorasi bidang-bidang minat yang lebih dikonsentrasikan secara mendalam).
Pandangan Ki Hadjar Dewantara

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara (1889-1959) tentunya bukan merupakan nama yang asing. la adalah tokoh dan sekaligus sebagai "Bapak" Pendidikan Nasional. Konsep-konsep dan upaya-upaya pendidikannya telah menjadi dasar bagi perkembangan proses pendidikan di Indonesia.

Dewantara adalah sosok tokoh pendidikan yang berwawasan nasional. Dengan berbekal pendidikan ketimuran yang dilengkapi dengan pendidikan barat. ia menjadikan dirinya sebagai pakar pendidikan modern yang berwawasan sangat luas pada jamannya. Meskipun ia banyak belajar dari Froebel dan Montessori sewaktu di Belanda, faham ketimurannya tetap lengket dan tak pernah luntur. Sikap nasionalismenya yang sangat kokoh tidak membuat ia hanyut dalam budaya barat. Sebaliknya, ia bahkan berupaya memadukan nilai-nilai modernisasi pendidikan yang dibawanya dari Eropa dengan nilai-nilai luhur yang ada di tanah air. Pendiriannya yang demikian itu tercermin dalam ungkapannya sebagai berikut (Ki Hajar Dewantara, 1962: 242-243):

Nyatalah tidak usah kita mengadakan barang tiruan kalau memang kita sudah mempunyainya sendiri. Sebab barang tiruan itu tidak akan dapat menyamai barang jang murni seperti kepunjaan sendiri. Kain tjap meskipun indah rupanja, deradjatnja tentu di bawah kain batik

Jang boleh kita pakai sebagai alat penghidupan jaitu barang-barang jang tidak kita punjai. Tetapi: awaslah (waspada) ! Tjarilah barang-barang jang berfaedah untuk kita, jang dapat menambah kekajaan kita dalam kultur lahir atau batin! Lagi pula: djangan meniru belaka, tetapi barang baru jang hendak kita pakai itu haras dilaraskan lebih dahulu, disesuaikan dengan rasa kita dan dengan keadaan hidup kita. Ini jang kita namakan menasionalisasikan.

Dengan berlatar belakang pemikiran seperti di atas, Dewantara memiliki pandangan tersendiri tentang anak. Menurutnya, anak (manusia) adalah titah Tuhan yang terdiri atas unsur badan kasar (jasmani) dan badan halus (rohani). Dua unsur ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan kodratnya yang demikian, maka kebutuhan manusia pada dasarnya mencakup dua hal tersebut, yakni kebutuhan lahir dan kebutuhan bathin.

Satu hal yang perlu dicatat dalam pandangannya di atas adalah tentang manusia sebagai titah Tuhan. Pandangan ini mencerminkan perbedaan Dewantara, sebagai orang timur yang religius, dari para pemikir barat yang lajimnya sekuler. Dalam hal ini, Dewantara secara eksplisit memandang hakikat manusia itu tidak lepas dari eksistensi Tuhannya, Sang Maha Pencipta.

Lebih eksplisit lagi, faham keagamaannya itu tercermin dalam praktek pendidikannya yang menerapkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Misalnya saja, salah satu peraturan pendidikannya melarang anak perempuan yang sudah baligh (kira-kira berusia 14 tahun) bepergian sendirian dengan laki-laki, kecuali kalau disertai oleh orang ketiga. Sebab, menurutnya, kalau anak perempuan pergi berdua dengan anak laki-laki, maka yang ketiganya adalah syaitan.

Selanjutnya, Dewantara menjelaskan bahwa anak lahir dengan kodrat atau pembawaannya masing-masing. Kekuatan kodrati yang ada pada anak ini tiada lain adalah segala kekuatan dalam kehidupan bathin dan lahir anak yang ada karena kekuasaan kodrat (karena faktor pembawaan atau keturunan yang ditakdirkan secara ajali). Kodrat anak bisa baik dan bisa pula sebaliknya. Dan kodrat itulah yang akan memberikan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Dengan faham seperti di atas, Dewantara memandang bahwa pendidikan itu sifatnya hanya menuntun bertumbuh kembangnya kekuatan-kekuatan kodrati yang dimiliki anak. Pendidikan sama sekali tidak mengubah dasar pembawaan anak, kecuali memberikan tuntunan agar kodrat-kodrat bawaan anak itu bertumbuh kembang ke arah yang lebih baik. Pendidikan berfungsi menuntun anak yang berpembawaan tidak baik menjadi berbudi pekerti baik, dari menuntun yang sudah berpembawaan baik menjadi lebih berkualitas lagi disamping untuk mencegahnya dari segala macam pengaruh jahat. Dengan demikian, tujuan pendidikan itu adalah untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada agar anak ia sebagai indvidu manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya dalam hidupnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tabiat manusia itu ada yang dapat diubah dan ada yang tidak dapat. Watak manusia dikelompokkan kedalam dua bagian, yakni bagian yang bersifat intelligible (yang berhubungan dengan kecerdasan fikiran dan yang dapat berubah karena pengaruh pendidikan atau lingkungan) dan bagian yang bersifat biologis (yang berhubungan dengan dasar hidup manusia dan tidak akan berubah selama hidup). Yang termasuk bagian pertama adalah berkenaan dengan keadaan fikiran, kecakapan untuk menimbang, dan kuat-lemahnya kemauan. Contoh dari tabiat jenis ini adalah kelemahan berfikir, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berfikir, dan sejenisnya. Bagian biologis (yang tidak dapat berubah) adalah bagian-bagian psikis yang berkenaan dengan perasaan seperti rasa takut, malu, kecewa, egois, sosial, keagamaan, dan rasa berani. Perasaan-perasaan itu tetap ada di dalam jiwa manusia sejak kecil sampai menjadi orang dewasa. Berkenaan dengan tabiat yang tidak berubah ini, Dewantara (1962) memberikan ilustrasi sebagai berikut:

Seringkali anak jang 'penakut' itu sesudah mendapat didikan yang baik, lalu hilang rasa-takutnja. Ini sebenarnja bukanlah anak itu lalu mendjadi orang jang berwatak pemberani, hanja saja rasa-takutnya (jang asli) itu tidak nampak, oleh karena ia sudah mendapat ketjerdasan fikiran, hingga pandai menimbang-nimbang dan memikir-mikir, kemudian dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut ....... Itulah semuanja jang dapat menutup rasa takutnja jang asli tadi. Oleh karena ketakutannja itu hanja 'tertutup' sadja oleh fikirannja, maka anak tersebut ada kalanja diserang rasa-takut dengan sekonjong-konjong, jaitu djika fikirannja sedang tak bergerak. Kalau fikirannja tidak djalan sebentar sadja, ia seketika itu akan takut iagi menurut dasar biologisnja sendiri.

Terhadap tabiat-tabiat biologis manusia yang jelek, pendidikan tidak dapat mengubah atau melenyapkannya. Namun pendidikan dapat meningkatkan kemampuan penguasaan diri. Dengan penguasaan diri secara konsisten, manusia akan dapat mengendalikan dan mengalahkan tabiat-tabiat yang tidak baik tersebut. Karena itu yang menjadi sasaran pendidikan adalah bukan menghilangkan tabiat-tabiat yang jelek, melainkan meningkatkan kemampuan penguasaan diri sehingga dapat mengalahkan tabiat-tabiat yang jelek tersebut.

Berkenaan dengan cara atau instrumen pendidikan, Dewantara mengemukakan 6 cara pokok yang penerapannya perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada, khususnya dengan usia anak didik. Alat-alat pendidikan yang dimaksud adalah: (1) memberi contoh; (2) pembiasaan; (3) pengajaran; (4) perintah, paksaan, dan hukuman; (5) laku atau disiplin diri sendiri; serta (6) pengalaman lahir dan bathin (melakukan langsung). Penggunaan cara-cara itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, khususnya diselaraskan dengan usia anak-anak. Berkenaan dengan fase perkembangan manusia, Dewantara membaginya dengan menggunakan interval tujuh tahun usia kronologis; yakni usia 1-7 tahun dipandang sebagai masa kanak-kanak; 7-14 tahun adalah masa pertumbuhan jiwa-fikiran, dan usia 14-21 tahun adalah masa terbentuknya budi pekerti atau periode sosial. Untuk masa kanak-kanak, cara pendidikan yang cocok adalah umumnya dengan cara pemberian contoh dan pembiasaan, untuk masa kedua adalah dengan cara pengajaran dan perintah atau hukuman, sedangkan untuk anak usia ketiga adalah dengan cara mendisiplin diri sendiri dan melakukan atau merasakannya secara langsung.
Pandangan Konstruktivis

Faham konstruktivis dimotori oleh Jean Piaget (1896-1980) dan Lev Vygotsky (1896-1934). Masing-masing adalah pakar psikologi perkembangan dari Swiss dan Uni Sovyet. Karya dua pakar ini sangat mencuat pengaruhnya dalam dunia pendidikan anak, terutama pada tahun 1970-1980-an. Banyaknya pakar-pakar psikologi dan/atau tokoh pendidikan yang tertarik dan turut mengembalikan aliran konstruktivis membuat aliran ini semakin menyebarluas dan mewarnai konsep dan praktek pendidikait anak. khususnya di Eropa dan Amerika Serikat.

Pada prinsipnya fahami konstruktivis berpegang pada asumsi bahwa anak itu bersifat aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya: Secara mental anak mengkonstruksi pengetahuannya melalui refleksi terhadap pengalamannya, anak memperoleh pengetahuan bukan dengan cara menerima secara pasif dari orang lain, melainkan dengan cara membangunnya sendiri secara aktif melalui interaksi dengan lingkungannya. Anak adalah makhluk belajar aktif yang dapat mengkreasi dan membangun pengetahuannya.

Berkenaan dengan proses perkembangan. Piaget (Roopnaire, J.L. & Johnson. J.L. 1993) menjelaskan bahwa perkembangan anak belangsung melalui suatu urutan yang bersifat universal dan sama. Masing-masing tahap perkembangan ditandai oleh karakteristik tertentu dalam cara berfikir dari berbuat. Pada intinya, proses perkembangan berfikir itu bergeser dan cara berflkir konkrit ke arah berfikir abstrak.

Vygotsky (Berk, L.E. & Winder, A.. 1995) menekankan pentingnya konteks sosial untuk proses belajar anak. Pengalaman interaksi sosial ini sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berfikir anak. Lebih lanjut, bahkan ia menjelaskan bahwa bentuk-bentuk aktifitas mental yang tinggi diperoleh dari konteks sosial dan budaya tempat anak berinteraksi dengan teman-temannya atau orang lain. Mengingat betapa pentingnya peran konteks sosial ini, Vygotsky berpendapal bahwa untuk memahami perkembangan individu anak kita dituntut untuk memahami relasi-relasi sosia! yang terjadi pada lingkungan tempat si anak itu bergaul.

Baik Piaget maupun Vygotsky sangat menekankan pentingnya aktivitas bermain sebagai sarana untuk pendidikan anak terutama untuk kepentingan pengembangan kapasitas berfikir lebih lanjut, bahkan mereka berpendapat bahwa perkembangan prilaku moral juga berakar dari akutivitas bermain anak yakni pada saal anak mengembangkan empati serta memahami peraturan dan peran kemasyarakatan. Aktiviitas-aktivitas bermain anak yang benuansakan dua hal tersebut empati serta pemahaman peraturan dan peran kemasyarakatan memfasilitasi proses berkembangnya perilakiu moral pada diri anak.

Karakteristik Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Untuk melengkapi uraian tentang pandangan para ahli yang lebih bersifat filosofis di atas, uraian berikut mengetengahkan bahasan tentang karakteristik anak dari perspektif psikologis. Sesuai dengan keperluan, isi bahasannya dibatasi pada hal-hal yang sifatnya menonjol dan lebih terkait dengan proses pembelajaran anak.

Anak usia prasekolah adalah individu yang sedang menjalani suatu proses pertumbuhan dan perkembangan sangat pesat dan sangat fundamental bagi proses perkembangan selanjutnya. Usia prasekolah merupakan fase kehidupan manusia yang mempunyai keunikan dan dunia tersendiri. Anak seusia ini berbeda dari orang dewasa tidak hanya secara fisik, melainkan secara menyeluruh.

1. Perkembangan Anak Usia 0-2 Tahun

Pada masa bayi (0 sampai dengan 1,5 atau 2 tahun), secara umur anak mengalami perubahan yang jauh lebih pesat bila dibanding dengan yang akan dialami pada fase-fase berikutnya. Berbagai kernampuan dan keterampilan dasar baik yang berupa keterampilan lokomotor (bergulir, duduk, berdiri, merangkak, dan berjalan), keterampilan memegang benda, pengindraan (melihat, mencium, mendengar, dan merasakan sentuhan), maupun kemampuan untuk mereaksi secara emosional dan sosial (berhubungan dengan orang tua, pengasuh, dan orang-orang dekat lainnya) dapat dikuasai pada fase ini. Berbagai kemampuan dan keterampilan dasar tersebut merupakan modal penting bagi anak untuk mengarungi dan menjalani proses perkembangan selanjutnya.

Bagi bayi, gerakan-gerakan motorik dan pengalaman-pengalaman sensori itu sangat vital. Pengalaman-pengalaman demikian, di samping dapat merangsang pertumbuhan fisik, juga sekaligus meningkatkan dan memperkaya kualitas fungsi fisik; tersebut. Dengan demikian, .bayi yang memiliki kesempatan luas untuk melakukan gerakan-gerakan motorik akan terdorong untuk mengalami pertumbuhan fisik yang sehat dengan penguasaan keterampilan-keterampilan motorik dasar yang cepat. Sebaliknya, bayi yang kurang mendapat kesempatan demikian sangat dimungkinkan untuk mengalami hambatan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan keterampilan motoriknya.

Komunikasi responsif dengan orang dewasa akan mendorong dan memperluas respons-respons verbal dan nonverbal bayi. Bayi mulai belajar tentang soso dan ekspresi-ekspresi perasaan meskipun ia belum memahami kata-kata. Penyajian pengalaman-pengalaman menarik seperti bercermin di depan kaca atau menyediakan objek-abjek mainan yang menarik merupakan hal yang bisa berpengaruh positif terhadap perkembangan kemampuan bayi dalam mengekspresikan perasaan dan keterampilan-keterampilan sensor lainnya. Menurut Bredekamp (1987), jika bayi terasing dari pengalaman-pengalaman sensori-motor tersebut, maka bukan saja perkembangan emosionalnya yang akan terhambat melainkan juga perkembangan kognitifnya.

Bayi yang baru lahir ke dunia dilengkapi dengan kesiapan untuk melakukan kontak sosial. Selama 9 bulan pertama ia akan mengembangkan kemampuannya untuk membedakan antara orang-orang yang dikenalnya dengan orang-orang yang tak dikenalnya. Pada usia ini bayi sudah mulai belajar melafalkan suara-suara dan gerakan-gerakan yang mengkomunikasikan suasana emosinya seperti senang, terkejut, marah, tidak setuju, cemas, dan perasaan-perasaan lainnya. Dalam hal ini bayi mengembangkan harapan-harapan tentang prilaku orang berdasarkan pada bagaimana cara orang tua dan pengasuh lainnya memperlakukannya. Misalnya, jika bayi diharapkan untuk mempercayai orang tua, maka orang tua harus dengan tanggap merespons tangisan-tangisan bayi yang mengindikasikan dialaminya ketidaknyamanan oleh bayi tersebut. Melalui interaksi-interaksi sosial yang penuh kehangatan dan kasih sayang ini, bayi mulai mengembangkan hubungan cinta Lasih yang positif.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa pemenuhan kebutuhan bayi sepenuhnya masih tergantung kepada orang dewasa. Bayi juga masih mudah untuk mengalami frustrasi karena belum mampu mengatasi ketidaknyamanan atau suasana stress secara aktif. Hal ini diakibatkan oleh karena belum dikuasainya keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk itu. la mengekspresikan apa yang dirasakan dan diinginkannya melalui bahasanya sendiri seperti menangis, tertawa, terkejut, dan sejenisnya. Terhadap ekspresi-ekspresi bayi tersebut, orang tua dan pengasuh lainnya harus memahami dan memberikan respons secara tepat, namun tidak perlu berlebihan.

2. Perkembangan Anak Usia 2-3 Tahun

Di samping masih memiliki beberapa kesamaan kararakteristik.: dengan usia masa sebelumnya. anak pada usia 2-3 tahun memiliki karakteristik-karakteristik khusus. Dalam segi fisik, pada fase ini anak masih tetap mengalami pertumbuhan yang pesat, khususnya berkenaan dengan pertumbuhan otot-otot besar. Anak pada usia ini sudah tahu bagimana bentuk ujiannya mulai senang memanjat dan menaiki sesuatu, membuka pintu, serta mencoba berdiri di atas satu kaki dan berloncat. la senang mencoba sesesuatu sehingga memerlukan ruangan yang cukup luas untuk itu. Pendeknya, dengan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar yang diperoleh pada masa bayi. anak seusia ini tampak senang melakukan banyak aktivitas ke sana ke mari.

Anak usia 2-3 tahun juga lajimnya sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. la memiliki kekuatan observasi yang tajam. Ia menyerap dan membuat perbendaharaan bahasa baru, belajar tentang jumlah membedakan antara konsep "satu" dengan "banyak", mulai senang mendengarkan cerita-cerita sederhana. dan gemar melihat-lihat buku. Semua itu diwujudkan oleh anak dalam bentuk aktivitas. Melalui berbagai aktivitas itulah. menurut pengamatan Piaget (Brenner, 1990). anak pada usia ini berfikir. Artinya, pada saat anak aktif melakukan aktivitas-aktivitas fisik, secara simultan aktivitas mentalnya juga terlibat. Meskipun hanya dengan beberapa patah kata, anak seusia ini juga mulai berbicara satu sama lain. la mulai senang melakukan percakapan walau dalam bentuk perbendaharaan kata dan kalimat yang terbatas. Namun simultan dengan iiu. sikap dan prilaku egosentrik anak pada usia ini sangat menonjol. Anak pada usia ini memandang peristiwa-peristiwa yang dihadapinya hanya dari kacamata dan kepentingannya sendiri. la belum bisa memahami persoalan-persoalan itu dari sudut pandang orang lain. la cenderung melakukan sesuatu itu hanya menurut kemauannya sendiri tanpa mempedulikan kemauan dan kepentingan orang lain. Karena itu, terjadinya perselisihan, berebut mainan, dan prilaku-prilaku sejenis lainnya sangat dimungkinkan untuk sering dialami oleli anak-anak seusia ini.

Hal lain yang perlu difahami adalah bahwa anak usia ini lajimnya memiliki kemampuan untuk memperhatikan sesuatu hanya dalam jangka yang sangat pendek. Ii belum bisa mengikuti suatu pembicaraan orang lain secara lara. Ia cenderung beralih-alih perhatian dari suatu benda ke benda lainnya, dari suatu aktivitas ke aktivitas lainnya, dan/atau dari suatu pembicaraan ke pembicaraan lainnya.

Belum memiliki pertimbangan yang sehat dan rasa bahaya baik bagi dirinya maupun bagi orang lain adalah ciri lain yang secara menonjol juga dimiliki anak seusia ini. la cenderung melakukan segala sesuatu hanya didasarkan atas keinginannya, tanpa mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensinya. Mungkin ia bisa bermain-main dengan api, mempermainkan pisau atau benda-benda tajam lainnya, dan/atau bermain di tengah jalan tanpa merasa takut.

3. Perkembangan Anak Usia 3-4 Tahun

Pada usia 3-4 tahun, anak juga masih mengalami perkembangan pesat dalam banyak hal. la mengalami peningkatan yang cukup berarti baik dalam perkembangan prilaku motorik, sosial, berfikir fantasi, maupun dalam kemampuan mengatasi frustrasi.

Normalnya, anak usia sekitar 4 tahun dapat menguasai semua jenis gerakan-gerakan tangan kecil. la dapat memungut benda-benda kecil (seperti kacang-kacangan), dapat memegang pensil, dan dapat memasukkan benda ke lubang-lubang kecil. la juga memiliki keterampilan memanjat atau menaiki benda-benda secara lebih sempurna.

Meskipun sifat egosentriknya masih melekat pada anak seusia ini, ia lajimnya sudah bisa bekerja dalam suatu aktivitas tertentu dengan cara-cara yang lebih kooperatif. la bisa bermain dengan cara-cara yang lebih dapat diterima secara sosial daripada sebelumnya. Aktivitas-aktivitas bermain bersama sudah dapat dilakukan secara lebih lama oleh anak seusia ini.

Pada usia ini anak memiliki kehidupan fantasi yang kaya dan menuntut lebih banyak kemandirian. Dengan kehidupan fantasi yang dimilikinva ini. ia memperlihatkan kesiapan untuk mendengarkan cerita-cerita secara lebih lama ia menyenangi dan menghargai sajak-sajak sederhana, beberapa anak bahkan dapat mengingatnya. Begitupun kemandirian yang dituntutnya membuat ia tidak mau banyak diatur dalam kegiatan-kegiatannya.

Tingkat frustasi anak usia ini cenderung menurun bila dibanding dengan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan kemampuan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya secara lebih aktif, di samping juga karena peningkatan kemampuan dalam mengekspresikan keinginan-keinginannya kepada orang lain.

Berkenaan dengan aspek akademik, anak usia ini sudah dapat menghitung jumlah-jumlah yang sedikit. Beberapa dari mereka juga ada yang sudah mulai mengenal hurup, khususnya yang berhubungan dengan namanya atau objek-objek menarik lainnya.

4. Perkembangan Anak Usia 4-5 tahun

Rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang menonjol pada anak usia sekitar 4-5 tahun la memiliki sikap berpetualang (adventurousness) yang begitu kuat. la akan banyak meperhatikan, membicarakan, atau bertanya tentang berbagai hal yang sempat dilihat atau didengarnya. Secara khusus, anak pada usia ini juga memiliki keinginan yang kuat untuk lebih mengenal tubuhnya sendiri. la senang dengan nyanyian, permainan, dan/atau rekaman yang membantunya untuk lebih mengenal tubuhnya itu.

Minatnya yang kuat untuk mengobservasi lingkungan dan benda-benda di sekitarnya membuat anak usia 4-5 tahun senang ikut bepergian ke daerah-daerah sekitar. la akan sangat mengamati bila diminta untuk mencari sesuatu. Karenanya pengemilan terhadap binatang-binatang piaraan dan lingkungan di sekitarnya dapat merupakan pengalaman yang positif untuk pengembangan minat keilmuan anak usia ini.

Berkenaan dengan pertumbuhan fisik, anak usia ini masih perlu aktif melakukan berbagai aktivitas. Kebutuhan anak untuk melakukan berbagai aktivitas ini sangat diperlukan baik bagi pengembangan otot-otot kecil maupun otot-otot besar. Pengembangan otot-otot kecil ini terutama diperlukan anak untuk menguasai keterampilan-keterampilan dasar akademik, seperti untuk belajar menggambar dan menulis.

Anak seusia ini masih tidak dapat berlama-lama untuk duduk dan berdiam diri. Menurut Berg 1988) sepuluh menit adalah waktu yang wajar bagi anak usia sekitar 5 tahun ini untuk dapat duduk dan memperhatikan sesuatu secara nyaman. Bila guru berupaya untuk menahan anak lebih lama dari itu. maka hal demikian bisa membuatnya merasa tersiksa dan "terpenjara".

Bagi anak usia ini, gerakan-gerakan fisik tidak sekedar penting untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik, melainkan juga dapat berpengaruh positif terhadap penumbuhan rasa harga diri (self esteem) dan bahkan perkembangan kognisi (Bredekamp, 1987). Keberhasilan anak dalam menguasai keterampilan-keterampilan motorik dapat membuat yang bersangkutan bangga akan dirinya. Begitu juga gerakan-gerakan fisik dapat membantu anak dalam memahami konsep-konsep yang abstrak; sama halnya dengan orang dewasa yang memerlukan ilustrasi untuk memahami konsep-konsep yang abstrak tersebut. Namun berbeda dengan orang dewasa, pemahaman anak terhadap suatu konsep hampir sepenuhnya tergantung kepada pengalaman-pengalaman yang bersifat langsung (hands-on experiences).

Sejalan dengan perkembangan keterampilan fisiknya, anak usia sekitar lima tahun ini semakin berminat pada teman-temannya. Ia mulai menunjukkan hubungan dan kemampuan kerja sama yang lebih intens dengan teman-temannya. la lajimnya memilih teman berdasarkan kesamaan aktivitas dan kesenangan. Namun tak perlu heran kalau di antara anak seusia ini masih sering terjadi konflik atau berebut sesuatu karena sifat egosentriknya yang masih melekat.

Kualitas lain dari anak usia ini adalah abilitas untuk memahami pembicaraan dan pandangan orang lain semakin meningkat sehingga keterampilan komunikasinya juga meningkat. Penguasaan akan keterampilan komunikasi ini membuat anak semakin senang bergaul dan berhubungan dengan orang lain.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa sampai dengan usia ini anak masih memerlukan waktu dan cara yang tidak terstruktur untuk mempelajari sesuatu serta untuk mengembangkan minat dan kesadarannya akan bahan-bahan tertulis. Bagi yang tidak mengerti, hal ini bisa menimbulkan kesan negatif tentang anak. Anak dinilainya tidak mau belajar dengan baik dan tertib sebagimana yang dituntutkan kepada orang dewasa.

Apa yang diungkapkan di atas adalah yang lajimnya dialami oleh anak usia prasekolah. Sesuai dengan sifat individu yang unik, adanya variasi individual dalam perkembangan anak merupakan hal yang normal terjadi. Kadang-kadang anak yang satu lebih cepat berkembang daripada anak-anak lainaya. Begitupun dalam hal perbedaan minat dan kecakapan, sementara sebagian anak lebih senang belajar matematika dan sain, misalnya, sebagian anak lain malah lebih senang membaca dan beryanyi. Singkatnya, anak usia prasekolah adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan sangat pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya. la memiliki dunia dan karakteristik tersendiri yang jauh berbeda dari dunia dan karakteristik orang dewasa. la sangat aktif, dinamis, antusias dan hampir selalu ingin tahu terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, serta seolah-olah tak pernah berhenti belajar.

Akhirnya, hal lain yang perlu difahami dan disadari adalah bahwa perkembangan anak itu bersifat terpadu. Aspek-aspek perkembangan itu tidak berkembang secara sendiri-sendiri, melainkan saling berinterelasi dan saling terjalin satu sama lain. Kalaupun dalam tulisan-tulisan sering dijelaskan secara peraspek perkembangan, namun sesungguhnya perkembangan anak itu bersifat integratif yang tidak bisa dipisah-pisah satu sama lain.

Cara Belajar Anak Secara Bermakna

Penjelasan tentang bagaimana cara anak belajar sebenarnya tergantung kepada perspektif teoritis yang dirujuk. Sebagai misal, perspektif behavioristik menjelaskan bahwa belajar terjadi melalui proses operant conditioning lingkungan memiliki peran yang sangat dominan. Sebaliknya, perspektif marurational memandang belajar sebagai masalah kematangan (a matter of maturation) yang dikendalikan oleh perkembangan genetik individu.

Berbeda dengan dua perspektif di atas, perspektif konstruktivistik memandang baik kematangan maupun pengalaman-pengalaman environmental memainkan peran penting dalam proses belajar. Menurut pandangani ini, pengetahuan pada dasarnya dibangun. Pengetahuan itu tidak terletak di manapun, melainkan dibangun oleh anak melalui interaksi dengan lingkungannya (Schickedanz, at al, 1990).

Mengingat banyak sisi positifnya dari pandangan ini serta relevansinya dengan kurikulum lembaga-lembaga pendidikan anak usia prasekolah di Indonesia, uraian selanjutnya tentang cara anak belajar ini lebih banyak didasarkan pada pandangan konstruktivistik. Dewasa ini pandangan konstruktivistik merupakan suatu aliran yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan anak usia prasekolah di negara-negara maju, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Kurikulum serta model, buku, dan bahan pembelajaran dalam berbagai bidang studi dikembangkan dengan menerapkan prinsip-prinsip pandangan ini. National Association for The Education of Young Children di Amerika serikat bahkan menerbitkan suatu panduan tentang bagaimana praktek pendidikan anak yang tepat secara perkembangan yang pada dasarnya merupakan terjemahan dari konsep-konsep pandangan konstruktivistik.

Dengan asumsi bahwa anak pada dasarnya memiliki kemampuan untuk membangun dan mengkreasi pengetahuan, pendekatan ini sangat menekankan pentingnya keterlibatan anak dalam proses belajar. Proses belajar dibuat secara natural, hangat, dan menyenangkan melalui bermain dan berinteraksi dengan teman dan lingkungan sekitar. Unsur variasi individual dan minat anak juga sangat diperhatikan sehingga motivasi belajar anak diharapkan muncul secara intrinsik.

Asumsi di atas mengandung arti bahwa proses belajar yang bermakna terjadi kalau anak berbuat atas lingkungannya Kesempatan anak untuk mengkreasi atau memanipulasi objek atau ide merupakan hal yang utama dalam proses belajar. Anak lebih banyak belajar dengan cara berbuat dan mencoba langsung daripada dengan cara mendengarkan orang dewasa yang memberi penjelasan kepadanya.

Mendasari pandangan di atas, Piaget (Brenner, 1990: 30) menjelaskan sebagai berikut: "...young children learn not so much through being 'taught' as by playing and experimenting with actual objects and by having concrete experiences." Penjelasan Piaget ini secara jelas menunjukkan bahwa pengalaman belajar anak lebih banyak didapat melalui cara bermain, melakukan percobaan dengan objek-objek nyata, dan dengan melalui pengalaman-pengalaman konloit daripada dengan cara "diajari" oleh guru.

Lebih lanjut, Brenner (1990) memberikan contoh bagaimana belajar tentang konsep lingkaran. Meunurutnya, konsep bilangan itu tidak dipelajari anak dengan cara meminta seseorang menceritakan kepadanya apa lingkaran itu atau seperti apa lingkaran itu akan tetapi dengan cara memegang dan menyentuh, bermain dengan dan membandingkan, menggambar dan membuat potongan-potongan bentuk lingkaran.

Relevan dengan pandangan Piaget di atas, Greenberg (1994) menjelaskan bahwa anak akan terlibat dalam belajar secara lebih intensif jika ia membangun sesuatu dari pada sekedar melakukan atau menirukan sesuatu yang dibangun oleh orang lain. Secara lebih jauh, ia melukiskan suasana belajar untuk yang bemakna itu sebagai berikut:

Children learn as they live, work, play, and converse with peers. As they exchange ideas, they challenge each other every bit as much as many adults challenge them-to think, to reconstnict their ideas because they have new information and viewpoints (p.88). Piaget (Schickedanz, at al, 1990) memberikan suatu ilustrasi berikut tentang bagaimana suatu pengetahuan baru diperoleh anak. Pada suatu waktu seorang anak duduk di halaman rumah dan menghitung kerikil. Anak itu meletakkan kerikilnya secara lurus dan menghitungnya dari kanan ke kiri hingga mendapatkan jumlah sepuluh. Kemudian ia menghitungnya lagi dari kiri ke kanan. dan ia mendapatkan angka sepuluh juga. Selanjutnya ia menyusun letak kerikil itu dalam suatu lingkaran dan menghitungnya lagi dengan arah jarum jam dan sebaliknya. la tetap masih mendapatkan jumlah sepuluh. Dari pengalaman ini si anak akhirnya menyimpulkan bahwa terlepas dari cara menyimpan dan arah menghitung kerikil, jumlah kerikil itu tetap sama.

Dari contoh di atas Piaget kemudian menyimpulkan bahwa anak itu telah membangun persesuaian konsep antara kerikil dengan jumlah 10 pertama melalui interaksi fisik dengan kerikil dan pengetahuan terdahulunya. Dengan kata lain pengetahuan baru itu dibangun anak melalui interaksi antara pengalaman-pengalaman eksternal dan struktur mental internal.

Memperkaya pandangan konstruktivistik, Vygotsky ;Berk. 1944) iiienekankan pentingnya pengalaman inlcraksi sosial bagi perkembangan proses berfikir anak. la meyakini bahwa aktivitas mental yang tinggi pada anak terbentuk melalui dialog dengan orang lain. Kesimpulan ini tercermin dari ungkapannya sebagai beriukut:
... mind extends beyond the skin and inseparably joined with other minds. Social exj srience shapes the ways of thinking and interpreting the world available to individuals. ... higher forms of mental activity are jointly constructed and transferred to children through dialogues other people
Berkenaan dengan konsep motivasi, perspektif konstruktivistik menjelaskan bahwa motivasi itu muncul dari interaksi individu dengan pengalaman eksternal. Sebagai hasil pengalaman terdahulu. setiap anak membawa segala pengetahuan yang telah dimilikinya terhadap pengalaman-pengalaman barunya. Jika suatu pengalaman belajar tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengkreasi suatu pengetahuan baru semuanya sudah familier atau terlalu mudah, maka pengalaman itu akan membosankan. Sebaliknya. bilamana pengalaman belajar itu terlalu asing bagi anak tak ada sedikitpun bekal pengetahuan anak yang berkaitan dengan pengalaman barunya itu atau terlalu sukar, maka pengalaman itu akan mencemaskan dan anak akan menarik diri atau menolak berhubungan dengan pengalaman baru itu. Yang paling tepat adalah apabila pengalaman belajar itu mengandung sebagian unsur yang sudah familier bagi anak dan sebagian lainnya masih baru. Dalam situasi seperti ini anak bisa tertarik untuk berinteraksi dengan pengalaman barunya itu dan bisa memiliki kesempatan untuk memanipulasi atau mengkreasikan sesuatu (Schickedanz. at al. 1990).

Dengan berpijak pada pandangan konstrukvistik. Bredekamp dan Rosegrant (1991/92) akhirnya menyimpulkan bahwa anak akan belajar dengan baik dan bermakna bila: (1) anak merasa aman secara psikologis serta kebutuhan-kebutuhan fisiknya terpenuhi; (2) anak mengkonstruksi pengetahuan; (3) anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak-anak lainnya; (4) anak belajar melalui bermain; (5) minat dan kebutuhan anak untuk mengetahui terpenuhi; dan (6) unsur variasi individual anak diperhatikan.

Rasa aman secara psikologis merupakan suatu prasyarat untuk dapat membuat anak mau dan mampu mengekspresikan dirinya secara optimal. Kondisi demikian akan mendorong anak untuk berani mengekspresikan apa yang ada dalam dirinya dan berani melakukan sesuatu. Sebaliknya, suasana yang bersifat "mengancam" bisa menjadi suatu hambatan bagi anak untuk berkreasi dan melibatkan dirinya dalam aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk kepentingan belajar. Begitu pula, kebutuhan fisik anak menimpakan suatu hal yang esensial untuk diperhatikan. Bergerak, misalnya, adalah kebutuhan dasar fisik anak yang cukup menonjol. Sekarang. bagaimana anak bisa belajar dengan bermakna kalau ia dipaksa harus duduk berdiam diri di atas bangku selama berjam-jam.

Kesempatan anak untuk berinisiasi dan berkreasi juga menimpakan hal yang akan membuat pengalaman belajarnya semakin bermakna. Meskipun hampir semua karya anak itu tak sebagus yang dibuatkan oleh orang tua, namun yang penting di sini adalah proses atau pengalaman melakukannya. Jika guru atau orang dewasa lainnya memberikan contoh atau membuatkan sesuatu untuk ditiru oleh anak. maka proses mental yang terjadi pada anak itu terbatas pada meniru apa yang sudah dibuatkan tersebut. Berbeda dengan kalau anak diberi kesempatan sendiri untuk mencari, menemukan. dan mencipta sesuatu yang hilang. atau sekurang-kurangnya berkurang, pada cara yang pertama adalah kesempatan anak untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan kreativitasnya secara optimal. Jadi, walaupun cara belajar dengan melihat contoh itu sangat dimungkinkan untuk menghasilkan produk atau karya anak secara lebih bagus, namun intensitas keterlibatan anak dalam proses belajar bisa berkurang, terlebih dalam kondisi terpaksa.

Pengalaman interaksi sosial anak dengan orang dewasa dan anak-anak lainnya tidak saja memfasilitasi keterampilan komunikasi dan senilainya, tetapi juga turut mengembangkan aspek-aspek perkembangan lainnya, seperti perkembangan kognisi. emosi, dan moralnya. Pergaulan sosial ilu memberikan suatu latar belakang pengalaman hidup yang kaya dan alami bagi anak sehingga dapat mendorong segenap aspek perkembangan anak secara lebih terintegrasi dan menyeluruh. Melalui interaksi sosial, anak dapat berlatih mengekspresikan emosinya dan menguji prilaku-prilaku moralnya secara tepat. Begitu pula pengenalan anak terhadap pola pikir orang lain dapat memperkaya pengalaman kognisinya.

Bermain adalah dunia anak dan sekaligus sebagai sarana belajar anak. Memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain berarti dengan sendirinya memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar. Memberi kesempatan kepada anak untuk belajar dengan cara-cara yang bersifat bermain berarti telah berusaha membuat pengalaman belajar itu dirasakan dan dipersepsi secara alami oleh anak yang bersangkutan sehingga menjadi bermakna baginya.

Anak itu lajimnya memiliki minat dan kebutuhan yang kuat untuk mengetaliui berbagai hal yang dilihat dan didengarnya. Untuk membuat kegiatan belajar anak itu bemakna, faktor dorongan ini jelas harus diperhatikan. Artinya anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk melakukan hal-hal yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan untuk mengetahui ini.

Meskipun ada pola-pola perkembangan umum yang lajim dilalui oleh anak, variasi individual antara anak yang satu dengan anak yang lainnya tetap ada. Sementara ada beberapa anak yang senang bermain sepak bola, misalnya. beberapa anak lainnya malah suka kesenian. Dalam hal ini, anak akan belajar secara bemakna kalau ia diberi kesempatan untuk mendapat pelayanan sesuai dengan gaya belajar, minat, dan keunikannya masing-masing.

Sejalan dengan uraian di atas, pada kesempatan lain Brenner (1990) memberikan kesimpulan berikut ini.

· Masing-masing anak merupakan pribadi yang unik. Artinya, pola dan per­kembangan belajar anak bisa berbeda satu sama lain, meskipun masih mengikuti suatu urutan umum yang dapat diprediksi.

· Anak tidak belajar dari simbol sebanyak ia belajar dari pengalaman-pengalaman konkrit. Artinya anak belajar lebih banyak dengan cara menyentuh, menggerakkan, dan bermain-main dengan objek yang dipelajarinya daripada dengan cara didesaknya untuk menguasai keterampilan-kelerampilan akademik dalam arti sempit.

· Anak perlu belajar untuk menggunakan tubuhnya. Anak perlu merasa senang atau enak dengan tubuh dan kapabilitas fisiknya. Aktivitas mengontrol tubuh mempengaruhi dengan kuat bidang-bidang belajar lainnya. Anak yang mempraktekkan gerakan-gerakan akan cenderung untuk memperoleh kepercayaan diri dan kemandirian.

· Anak belajar dari anak lain dan juga dari orang tua dan guru. Keterampilan-keterampilan sosial merupakan keuntungan yang besar dari pengalaman beiajar prasekolah. Belajar untuk bergaul bersama dengan orang lain, memiliki suatu efek yang menentukan terhadap perilaku di rumah, perkembangan kepribadian, dan keberhasilan sekolah selanjutnya.

· Anak belajar secara bertahap. Lembaga pendidikan prasekolah yang baik akan menciptakan suatu lingkungan yang dalam lingkungan itu anak dapat melalui semua tahap-tahap belajar dan tidak tergesa-gesa ke keterampilan-keterampilan akademik tanpa suatu fondasi yang tepat.

Demikian artikel tentang Karakteristik perkembangan anak usia dini. semoga bermanfaat untuk dijadikan referensi pendidikan di Indonesia.

Sabtu, 01 Juni 2013

Manfaat Media dalam Kegiatan Pembelajaran | Artikel

Media sebagai sumber pembelajaran erat kaitannya dengan guru. Guru tidak hanya memiliki pengetahuan tentang media, tetapi haras trampil memilih, menggunakan serta kalau memungkinkan guru harus mampu menciptakan, merancang dan membuat media sendiri. Memilih dan menggunakan media perlu memperhatikan aspek tujuan, materi, metode dan evaluasi.

Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran tidak lain adalah memperlancar proses interaksi antara guru dengan siswa, membantu siswa belajar secara optimal. Tetapi di samping itu ada beberapa manfaat lain yang lebih khusus. Kemp dan Dayton (Yamin, 2007: 178-181) mengindentifikasikan delapan manfaat media dalam kegiatan pembelajaran, yaitu:

(a)Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan, (b)Proses pembelajaran menjadi lebih menarik, (c)Proses belajar siswa menjadi lebih interaktif, (d)Jumlah waktu belajar mengajar dapat dikurangi, (e)Proses belajar dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, (f)Sikap positif siswa terhadap bahan pelajaran maupun terhadap proses belajar itu sendiri dapat ditingkatkan, (g)Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif.

Dengan demikian menggunakan media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi, memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa, membangkitkan motivasi dan minat siswa sehingga dapat mempelancar proses dan hasil belajar.

Menurut Hamalik (Arsyad, 2003:15-16) dikemukakan bahwa:

Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan media pengajaran pada tahap orientasi pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Di samping membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pengajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data dan memadatkan informasi.

Upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS sangat terkait dengan kemampuan guru dalam memanfaatkan media yang tersedia untuk kebutuhan siswanya. Siswa dilatih menjadi terampil dan penuh pengalaman dalam menggunakan media. Proses pembelajaran yang didukung oleh media dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar, sejumlah tujuan belajar yang dapat diwujudkan guru dalam kegiatan belajar yakni:

"(a)Menjadi anak-anak, bergembira dan riang dalam belajar, (b)Memperbaiki berfikir kreatif anak-anak sifat keingintahuan, kerjasama, harga diri dan rasa percaya pada diri sendiri, khususnya dalam menghadapi kehidupan akademik, (c)Mengembangkan sikap positif anak-anak dalam belajar, (d)Mengembangkan afeksi dan kepekaan terbadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungannya, khususnya perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial dan teknologi." (Sumantri dan Permana, 1998/1999: 21)

Tujuan belajar merupakan komponen dalam pembelajaran. Semua komponen pembelajaran lainnya seperti pemilihan materi atau bahan pembelajaran, kegiatan guru dan siswa, pemilihan media serta penyusunan tes, akan bertolak dalam proses pembelajaran. Dengan memahami tujuan belajar dapat membantu guru dalam kerangka membantu siswa meletakkan dasar-dasar kehidupan ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan yang diperlukan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungamiya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan mereka selanjutnya.

Selanjutnya Sumantri dan Permana (1998/1999: 181) mengemukakan prinsip-prinsip dalam pemilihan media:

"(a) Memilih media harus berdasarkan pada tujuan pengajaran dan bahan pengajaran yang akan disampaikan, (b) Memilih media harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, (c) Memilih media harus disesuaikan dengan kondisi atau pada waktu, tempat dan situasi yang tepat, (d) Memilih media harus memahami karakteristik dari media itu sendiri."

Sedangkan manfaat media bagi siswa dapat memungkinkan mengamati peristiwa yang langka dan sukar dicapai. Contohnya peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 akan sulit disaksikan. Tetapi melalui media film atau foto kita dapat menyaksikan peristiwa tersebut, seolah-olah kita dekat dengan peristiwa itu.

Membahas Belajar dan Pembelajaran | Makalah Artikel Pendidikan

Pengertian belajar (Fontana,1981:147) adalah “proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman”. Kegiatan belajar merupakan aktivitas sehari-hari yang umum dilakukan oleh setiap manusia, baik anak-anak, orang dewasa maupun orang tua. Belajar dapat dilakukan di sekolah , di rumah, di lingkungan masyarakat, dan tempat-tempat lain seperti di museum ataupun perpustakaan.

Berikut beberapa pendapat mengenai pengertian belajar, antara lain dikemukakan oleh :

a. Witherington (Syaodih , 2005 : 155) mengungkapkan "belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan."

b. Hilgard (Syaodih , 2005 : 156) mengungkapkan "Belajar adalah suatu proses di mana suatu perilaku muncul berubah karena adanya respon terhadap sesuatu situasi."

c. Writtig (Syah , 2002 : 90) mengungkapkan "belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengamatan."

d. Surya (2003 , 73) mengungkapkan "belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.".

e. Hilgard dan Marquis (Sagala, 2006: 13) mengemukakan bahwa: "Belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan pembelajaran dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri.".

f. Crow and Crow (Sukmadinata, 2005: 155-156) mengemukakan bahwa : "Belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru."

g. Hakim Thursan (2001: 01) mengemukakan bahwa "Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan."

Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar, apakah mengarah kepada yang lebih baik ataupun yang kurang baik, direncanakan atau tidak. Hal lain yang juga selalu terkait dalam belajar adalah pengalaman. Perubahan dan pengalaman hampir selalu ditekankan dalam definisi belajar.

Jadi belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya tujuan dari kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku hasil belajar diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kemampuan dalam berbagai bidang sebagai hasil dari latihan dan pengalamannya.

Mengenai pengertian perubahan dalam rumusan-rumusan di atas dapat menyangkut hal yang sangat luas, menyangkut semua aspek kepribadian individu. Perubahan tersebut dapat berkenaan dengan penguasaan dan penambahan pengetahuan, kecakapan, sikap, nilai, motivasi, kebiasaan, minat dan sebagainya. Demikian juga dengan pengalaman, berkenaan dengan segala bentuk pengalaman atau hal-hal yang pernah dialami ,pengalaman karena membaca, melihat, mendengar, merasakan, melakukan, membayangkan, menilai, mencoba, memecahkan dan sebagainya.

Prinsip-prinsip Belajar

Belajar seperti halnya perkembangan berlangsung seumur hidup, dimulai sejak dalam ayunan (buaian) sampai dengan menjelang liang lahat (meninggal). Apa yang dipelajari dan bagaimana cara belajarnya pada setiap fase berbeda-beda. Proses belajar dapat diperinci di dalam beberapa prinsip dasar. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip dasar, kita akan memiliki arah dan pedoman yang jelas di dalam belajar. Dengan memahami prinsip-prinsip belajar kita akan relatif lebih mudah dan lebih cepat berhasil dalam belajar. Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip belajar akan menemukan metode yang efektif. Adapun prinsip-prinsip belajar tersebut dijelaskan oleh Sukmadinata (2005: 165-167) sebagai berikut:

(a)Belajar merupakan bagjan dari perkembangan, (b)Belajar berlangsung seumur hidup, (c)Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan, faktor lingkungan, kematangan serta usaha dari individu sendiri, (d)Belajar mencakup semua aspek kehidupan, (e)Kegiatan belajar berlangsung pada setiap tempat dan waktu, (f)Belajar berlangsung dengan guru atau tanpa guru, (g)Belajar yang berencana dan disengaja menuntut motivasi yang tinggj, (h)Perbuatan belajar bervariasi dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks, (i)Dalam belajar dapat terjadi hambatan-hambatan, (j)Untuk kegiatan belajar tertentu diperlukan adanya bantuan atau bimbingan dari orang lain.

Sedangkan Hakim Thursan (2001: 2-10) mengemukakan beberapa prinsip belajar yaitu :

(a)Belajar harus berorientasi pada tujuan yang jelas, (b)Proses belajar akan terjadi bila seseorang dihadapkan pada situasi problematis, (c)Belajar dengan pengertian akan bermakna daripada belajar dengan hapalan, (d)Belajar merupakan proses yang kontinu, (e)Belajar memerlukan kemauan yang kuat, (f)Keberhasilan belajar ditentukan oleh banyak faktor, (g)Belajar secara keseluruhan akan lebih berhasil daripada belajar secara terbagi-bagi, (h)Proses belajar memerlukan metode yang tepat, (i)Belajar memerlukan adanya kesesuaian antara guru dan murid, (j)Belajar memerlukan kemampuan dalam menangkap intisari pelajaran itu sendiri.

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dengan memahami prinsip-prinsip belajar, siswa akan dapat memperoleh keberhasilan dalam proses belajar mereka dengan lebih mudah, cepat, sesuai dengan harapan mereka.

Hasil Belajar
Bukti bahwa seseorang telah belajar adalah terjadinya perubahan perilaku, misalya dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Guru perlu mengenal hasil belajar dan kemajuan belajar yang diperoleh sebelumnya. Dengan mengenal hasil belajar guru dapat membantu atau mendiagnosis kesulitan belajar siswa, dapat memperkirakan hasil dan kemajuan belajar selanjutnya, kendatipun hasil-hasil tersebut dapat saja berbeda dan bervariasi sehubungan dengan keadaan motivasi, kematangan dan penyesuaian sosial.

Hamalik ( 2001: 30) mengemukakan bahwa :

Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek. Hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek tersebut. Adapun aspek-aspek itu adalah : (a) pengetahuan, (b) pengertian, (c) kebiasaan, (d) keterampilan, (e) apresiasi, (f) emosional, (g) hubungan sosial, (h) jasmani, (i) etis atau budi pekerti, (j) sikap.

Sedangkan Kingsley (Sudjana, 2003: 45), membagi tiga macam hasil belajar, yakni : "(a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah."

Selanjutnya Benyamin Bloom (Sudjana, 2003: 46) mengemukakan bahwa: "Tujuan pendidikan yang hendak kita capai digolongkan atau dibedakan (bukan dipisahkan) menjadi tiga bidang, yakni (a) bidang kognitif, (b) bidang afektif, dan (c) bidang psikomotor."

Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar penting diketahui guru, dalam rangka menyusun perencanaan pembelajaran, khususnya dalam menyusun tujuan pernbelajaran. Dengan perkataan lain rumusan tujuan pembelajaran berisikan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa.

Pengertian Pembelajaran

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama, kegiatan ini melibatkan interaksi individu yairu pendidik dan peserta didik. Kebernasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.

Sagala (2006: 61) mengemukakan bahwa : " Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid."

Sedangkan Corey (Sagala, 2006: 61) berpendapat bahwa : "Konsep pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan."

Selanjutnya Surakhmad (Sumaatmadja, 1997: 70) mengemukakan bahwa : ''Mengajar adalah peristiwa bertujuan; artinya mengajar adalah peristiwa yang terikat oleh tujuan, terarah pada tujuan, dan dilaksanakan semata-mata untuk mencapai tujuan itu."

Pendapat ketiga ahli tentang pembelajaran pada prinsipnya sama bahwa pembelajaran adalah kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh pendidik dalam rangka untuk mencapai tujuan sesuai dengan materi pembelajaran agar dalam diri peserta didik terjadi perubahan, sebagai hasil dari pengalamannya dalam interaksi dengan lingkungannya.

Pembelajaran mempunyai dua karakteristik yaitu pertama, proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir. Kedua, proses pembelajaran membangun suasana dialog dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa, yang pada gilirannya dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka bentuk sendiri.

Langkah-Langkah Pembelajaran

Syah Muhibbin (2002: 216) mengemukakan bahwa : "Tahapan-tahapan dalam proses mengajar memiliki hubungan erat dengan penggunaan strategi mengajar, maksudnya ialah bahwa setiap penggunaan strategi mengajar harus selalu merupakan rangkaian yang utuh dalam tahapan -tahapan mengajar."

Proses pembelajaran terdiri tiga tahap, yaitu :
(a) Tahap prainstruksional yaitu persiapan sebelum mengajar dimulai,
(b) Tahap instruksional, yaitu saat mengajar, dan
(c) Tahap tindak lanjut.

Tahap pertama / tahap prainstruksional adalah langkah persiapan yang ditempuh guru pada saat mulai memasuki kelas hendak mengajar. Tahap kedua adalah tahap pelaksanaan mentransformasi materi pembelajaran dengan harapan siswa memahami, mengerti dan mampu melaksanakan evaluasi. Pada tahap ini guru melaksanakan penilaian keberhasilan belajar siswa caranya dengan mengadakan pos tes. Tahap ketiga siswa dan guru membuat kesimpulan mengenai uraian yang telah disampaikan, jika memungkinkan penulisan kesimpulan ada baiknya dilakukan oleh para siswa. Dan pada tahap ini dilakukan penindaklanjutan (follow up) baik yang bersifat pengayaan maupun perbaikan.

Demikian artikel makalah yang membahas belajar dan pembelajaran, semoga bermanfaat dan menjadi referensi untuk kita semuanya. Amiin

Membahas Penelitian Tindakan Kelas PTK | Makalah Pendidikan

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah upaya perbaikan yang dilakukan dengan melaksanakan tindakan untuk mencari solusi atas permasalahan yang sering timbul pada kegiatan sehari-hari di kelas. Kasbolah K, (1998/1999: 13) mengemukakan bahwa : " Penelitian Tindakan Kelas merupakan salah satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan pembelajaran."

Penelitian Tindakan Kelas adalah salah satu jalan yang terbuka untuk para pendidik yang ingin menambah ilmu pengetahuan, melatih praktek pembelajaran di kelas dengan berbagai model yang akan mengaktifkan guru dan siswa, mencoba melakukan penelitian untuk secara reflektif melakukan kritik terhadap kekurangan dan berusaha memperbaikinya agar pendidikan benar-benar dapat menjadi bidang profesi (Wiriiaatmaja R, 2005:29).

Tim Penulis Balai Pengembangan Teknologi Pendidikan (2006: 02) mengemukakan bahwa : "Penelitian Tindakan Kelas merupakan studi sistematis terhadap praktek pembelajaran dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar siswa dengan melakukan tindakan tertentu."

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian tindakan kelas dapat diartikan sebagai upaya perbaikan dan atau meningkatkan pembelajaran di kelas, melalui penerapan berbagai ragam teori dan tehnik pembelajaran yang relevan secara kreatif.

Tujuan dan Manfaat PTK
Sesuai dengan pengertian atau definisi PTK seperti tersebut diatas, tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan guru dalam proses pembelajaran. Bila tujuan utama tersebut tercapai maka sesungguhnya telah tercapai tujuan penyerta/pengiring berupa peningkatan pengalaman serta kemampuan guru dalam keterampilan pelaksanaan pembelajaran secara reflektif.

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan PTK, antara lain mencakup:
  1. Inovasi pembelajaran, melalui PTK guru dibiasakan untuk selalu mengubah, mengembangkan dan meningkatkan gaya mengajarnya sehingga mampu melahirkan model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kelasnya.
  2. Pengembangan kurikulum di tingkat kelas dan sekolah, hasil PTK dapat menjadi masukan bagi pengembangan kurikulum di tingkat kelas dan sekolah, guru dapat memahami hakekat kurikulum secara empirik, bukan teoritik semata.
  3. Peningkatan profesionalisme guru, melalui PTK guru akan lebih profesional dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik, dalam melaksanakan pembelajaran guru tidak hanya menjalankan instruksi atau hasil penelitian orang lain meskipun tidak cocok dengan lingkungan kelasnya.
Ciri dan Karakteristik PTK
Untuk lebih memahami Penelitian Tindakan Kelas perlu dikemukakan karakteristik dari Penelitian Tindakan Kelas yaitu : 1) PTK dilaksanakan oleh guru sendiri, 2) PTK berangkat dari permasalahan praktik faktual, 3) Adanya tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki proses belajar mengajar di kelas yang bersangkutan (Kasbolah, 1998/1999 : 22).

Fokus penelitian tindakan terletak kepada bagaimana kemampuan guru dalam melakukan tindakan alternatif dalam memecahkan permasalahan-pennasalahan dalam pembelajaran. Adanya tindakan merupakan ciri utama yang membedakan penelitian tindakan kelas dengan jenis penelitian lain. Tindakan yang dilakukan tentu saja didasarkan atas masalah yang hendak dipecahkan.

Prinsip PTK
Dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas perlu diperhatikan prinsip-prinsip pelaksanaannya yaitu :
a. Tidak boleh mengganggu proses pembelajaran dan tugas mengajar.
b. Tidak boleh terlalu menyita waktu.
c. Metodologi yang digunakan harus tepat dan terpercaya.
d. Makalah yang dikaji benar-benar masalah faktual (ada dan dihadapi guru).
e. Memegang etika kerja (minta izin, membuat laporan, dan lain-lain).
f. Bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu proses pembelajaran.
g. Menjadi media bagi guru untuk berfikir kritis dan sistematis.
h. Membiasakan guru melakukan kegiatan bernilai akademis dan ilmiah.
i. Hendaknya dimulai dari permasalahan pembelajaran yang sederhana, konkrit, jelas dan tajam.

Pola Umum PTK
Ada beberapa bentuk atau pola pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas, Oja dan Smulyan (1989) membedakan penelitian tindakan kelas dalam empat bentuk yaitu :

a. Guru sebagai peneliti, dalam bentuk ini guru terlibat secara penuh dalam perencanaan, aksi (pelaksanaan) dan refleksi. Dalam bentuk penelitian yang demikian guru mencari problema sendiri untuk dipecahkan melalui PTK, pelibatan pihak lain dalam PTK perannya tidak dominan dan hanya bersifat konsultatif dan mempertajam persoalan dan solusi pemecahannya.

b. Penelitian tindak kolaboratif, dalam bentuk ini PTK melibatkan berbagai pihak baik guru, kepala sekolah, maupun pengawas secara serentak dengan tujuan untuk meningkatkan praktek pembelajaran, menyumbang pada perkembangan teori serta meningkatkan karir guru. Hubungan antara pihak yang terlibat bersifat kemitraan. Penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti saat ini merupakan penelitian tindak kolaboratif yang melibatkan peneliti yang juga sebagai guru, teman sejawat sebagai mitra dan dosen pembimbing.

c. Simultan terintegrasi, tujuan utama PTK bentuk ini adalah dua hal sekaligus yaitu memecahkan persoalan praktis dalam pembelajaran di kelas dan menghasilkan pengetahuan yang ilmiah dalam bidang pembelajaran di kelas. Persoalan yang diteliti datang dan diidentifikasi oleh peneliti dari luar, jadi dalam hal ini guru tidak bertindak sebagai inovator.

d. Administrasi sosial eksperimental, penelitian bentuk ini lebih menekankan pada dampak kebijakan dan praktek, guru tidak dilibatkan dalam perencanaan serta refleksi terhadap praktek pembelajaran dalam kelasnya sendiri. Pada penelitian demikian tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pihak luar yang bekerja atas dasar hipotesis tertentu, kemudian melaksanakan melakukan berbagai bentuk test dalam sebuah eksperimen.

Langkah –langkah PTK
Langkah-langkah pelaksanaan PTK sangat bervariasi, tetapi secara pokok adalah sama yaitu sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan menganalisis maslah.
b. Merumuskan masalah.
c. Merumuskan hipotesis tindakan
d. Membuat rencana tindakan dan pemantauannya.
e. Melaksanakan tindakan dan mengamatinya.
f. Mengolah dan menafsirkan data.
g. Menganalisis data.
h. Validasi dan Kredibilitas PTK
i. Melaporkan hasil penelitian.

Daftar Pustaka: Berbagai Sumber

Minggu, 19 Mei 2013

Makalah Perkembangan Anak Prasekolah | Artikel Pendidikan

Dewasa ini semakin banyak lembaga pendidikan untuk anak-anak yang menawarkan keterampilan “plus” dalam penyelenggaraan pendidikannya, dengan metode pengajaran yang mereka tawarkan sangat beragam. Menyikapi kondisi itu, tak sedikit para orang tua ikut tergiur dengan penawaran tersebut, sehingga hukum demand dan supply pun berlaku. Kendati mengklaim bertujuan untuk mendidik generasi penerus bangsa, namun tak pelak unsur bisnis pun muncul (Suryobroto, 1994 : 5-22). Implikasinya, lembaga dan orangtua terlampau mengharapkan dan menargetkan anak-anak agar menguasai kepandaian tertentu, misalnya anak harus pandai membaca, menulis, berhitung, menggambar dengan baik, berbahasa asing (Inggris, Arab, dan lain-lain) dengan pengawasan yang sangat ketat, padahal kemampuan anak-anak sangat berbeda. Untuk anak yang kurang mampu akan membuat frustrasi dan hilang semangat belajar. Kalaupun anak mampu memenuhi harapan orang tua yang kemudian orang tua menjadi bangga karenanya, maka kebanggaan orang tua itu belum tentu merupakan panggilan hati dan kesenangan anak-anak. Situasi pendidikan seperti inilah yang membuat psikologis anak tidak sehat.

Memanfaatkan momen “memberi yang terbaik” untuk anak-anak, banyak media bermunculan yang bertemakan pendidikan anak, seperti majalah Bobo, si Kancil, Anakku, Anak Shalel, ayah Bunda, juga sering ada program yang menawarkan seminar, ceramah, diskusi atau kursus bagaimana mendidik anak yang efektif melalui media cetak maupun elektronik. Demikian pula perusahaan permainan anak-anak ikut berlomba menawarkan produknya karena memahami bahwa orang tua tidak akan menolak permintaan anak, meskipun kadang-kadang alat-alat permainan tersebut kurang mempunyai nilai edukatif.

Dari sekian banyak tawaran tersebut agaknya cukup menyadarkan para orangtua, terutama pasangan muda di kota, akan pentingnya arti stimulasi dan perhatian orang tua terhadap anak usia dini, sehingga tidak sedikit mereka harus menghabiskan uang, tenaga, dan pikiran demi kualitas anak-anak mereka. Tuliskan singkat yang berbentuk makalah ini bermaksud untuk meninjau secara psikologis mengenai pendidikan anak pra-sekolah.

Pengertian Anak Prasekolah 
Sampai abad XVIII masih berkembang anggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk kecil, terutama di Eropa, dimana kondisi ekonomi di sana memungkinkan agar anak tidak terlalu lama tergantung kepada orangtua. Berdasarkan anggapan itu maka implikasinya, perlakuan dan harapan orangtua terhadap anak sama dengan perlakuan dan harapan terhadap orang dewasa. Hal ini terlihat misalnya dalam memberi perhatian, memenuhi kebutuhan pokok, atau menargetkan kepandaian yang sama dari anak kecil dan orang dewasa. Perlakuan dan harapan terhadap anak karena kesalahan mempersempit perkembangan anak, ini akan menimbulkan masalah psikologis di kemudian hari pada perkembangan emosi, sosial, moral, kognisi anak tersebut.

Oleh karena itu, anak harus dipandang sebagai individu yang berbeda dengan orang dewasa. Anak bukan orang dewasa kecil karena anak memiliki kemampuan, kekuatan, pengalaman dan penghayatan yang berbeda dengan orang dewasa dalam memandang dunia. Anak memiliki dunia sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa.

Dari sisi pedagogis usia anak terbagi menjadi dua bagian, anak pra-sekolah usia 3 - 6 tahun dan akan sekolah 7 – 12 tahun (Biecher dan Snowman, 1993:8). Anak usia pra-sekolah umumnya mengikuti program penitipan anak (Day Care) usia 3 sampai 5 tahun, program kelompok bermain (Play Groups) usia 3 - 4 tahun, dan program Taman Kanak-kanak (Kindergarten).

Pada kaitan ini, seiring dengan kemajuan emansipasi perempuan, lembaga pendidikan anak pra-sekolah sehari penuh (fullfay) menjadi trend di kota besar. Menurut mereka, lembaga penitipan anak seperti ini jauh lebih beruntung daripada anak-anak diasuh oleh pembantu rumah tangga di rumah, selain karena semakin sulitnya mencari tenaga pembantu rumah tangga, juga anak-anak tidak memperoleh pendidikan dari para pembantu yang umumnya kurang melek terhadap pendidikan. Mereka rela membayar berapapun demi anak-anak mereka. Namun demikian, perlu dicermati, apakah anak-anak merasa cukup menikmati model pendidikan seperti ini, atau bahkan anak-anak merasa jenuh dan lelah. Apapun model pendidikan, seyogyanya bukan berdasarkan kepentingan orangtua secara sepihak.

Perkembangan anak Prasekolah
Perkembangan Fisik 
Pada saat anak mencapai usia prasekolah (3-6 tahun) terdapat ciri yang jelas yang membedakan antara usia bayi dan usia anak pra-sekolah. Perbedaan ini dapat terlihat dalam penampilan, proporsi tubuh, berat dan tinggi badan maupun keterampilan yang mereka kuasai. Pada anak usia pra-sekolah telah tampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi mereka untuk melakukan keterampilan. Semakin usia bertambah, perbandingan bagi tubuh anak akan berubah, sehingga anak memiliki keseimbangan di tungkai bagian bawah.

Gerakan anak pra-sekolah lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola seperti; menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai dengan santai, mampu mengalahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki. Terbentuknya tingkah laku ini, memungkinkan anak merespon pelbagai situasi. Pertumbuhan gigi anak pra-sekolah mencapai 20 buah dimana gigi susu akan tanggal pada akhir usia pra-sekolah dan gigi susu akan tanggal pada akhir usia prasekolah dan gigi permanen tidak akan tumbuh sebelum anak berusia 6 tahun. Otot dan sistem tulang akan terus berkembang sejalan dengan usia mereka. Kepala dan otot anak pra-sekolah telah mencapai ukuran orang dewasa. Demikian pula jaringan saraf mereka berkembang mengikuti pertumbuhan ototnya. Anak pra-sekolah membutuhkan kondisi kondusif untuk berkembang sehingga motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi kognisi dan moral mereka akan berkembang dengan optimal.

Perkembangan Motorik.
Perkembangan motorik anak merupakan proses memperoleh keterampilan dan pola gerakan yang diperlukan untuk mengendalikan tubuh anak. Ada dua macam keterampilan motorik yaitu keterampilan koordinasi otot halus, dan keterampilan koordinasi oto kasar (Milles dan Browne, 1994:280). Keterampilan koordinasi otot halus biasanya dipergunakan dalam kegiatan motorik di dalam ruangan, sedangkan keterampilan koordinasi otot kasar dilaksanakan di luar ruangan karena mencakup kegiatan gerak seluruh tubuh atau sebagian besar tubuh. Dengan menggunakan bermacam-macam koordinasi kelompok otot tertentu, anak dapat belajar untuk merangkak, melempar atau meloncat. Koordinasi keseimbangan, ketangkasan, kelenturan, kekuatan kecepatan, dan ketahanan merupakan kegiatan motorik kasar. Sedangkan motorik halus merupakan kegiatan yang menggunakan otot halus pada kaki dan tangan. Gerakan ini memerlukan kecepatan, ketepatan, keterampilan menggerakkan, seperti menulis, menggambar, menggunting, melipat atau memainkan piano.

Seefell (Verna, 1986:144) menggolongkan keterampilan motorik menjadi tiga bagian sebagai berikut :
(1) Keterampilan Lokomotorik, terdiri atas : keterampilan berjalan, berlari, melompat, berderap, meluncur, berguling-guling, berhenti, mulai berjalan, menjatuhkan diri dan mengelak.
(2) Keterampilan Non Lokomotorik, yaitu menggerakkan bagian tubuh dengan posisi diam di tempat seperti : berayun, merentang, berbelok, mengangkat, bergoyang, melengkung, memeluk, menarik, dan memutar.
(3) Keterampilan memproyeksi dan menerima, menggerakkan dan menangkap benda seperti : menangkap, menarik, menggiring, melempar, menendang, memukul, dan melambung.

Keterampilan motorik sebagaimana tersebut di atas memerlukan latihan-latihan. Latihan untuk keterampilan motorik halus misalnya dengan kegiatan menggambar, melipat, menyusun, mengelompokkan, membentuk, melipat atau menggunting. Latihan untuk keterampilan motorik kasar dengan cara menangkap (bola), menendang, meloncat, melempar atau melompat.

Perkembangan Bahasa
Kemampuan anak dalam memahami bahasa orang lain masih terbatas. Anak pra-sekolah hanya memahami bahasa dari persepsi dirinya sendiri dan akselerasi perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil perkembangan fungsi simbolis. Apabila fungsi simbolis telah berkembang, akan memperluas kemampuan memecahkan persoalan dengan belajar dari bahasa orang lain.

Menurut Witon & Mallon (1981:118), bahasa merupakan bentuk utama dalam mengekspresikan pikiran dan pengetahuan jika anak mengadakan hubungan dengan orang lain. Anak yang sedang tumbuh kembang mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran dan perasaan melalui bahasa dengan kata-kata yang mempunyai makna.

Berbahasa menghasilkan bunyi verbal. Kemampuan mendengar dan membuat bunyi verbal merupakan hal utama untuk menghasilkan bicara. Kemampuan bicara anak meningkat melalui pengucapan suku kata yang berbeda-beda yang diucapkan anak secara jelas. Kemampuan bicara ini akan lebih baik lagi bila anak memberi arti kata-kata baru, menggabungkan kata-kata baru, memberikan pernyataan atau pertanyaan. Semua ini merupakan penggabungan proses bicara, kreativitas dan berpikir.

Berfikir adalah awal berbahasa, dan berfikir lebih luas dari bahasa. Kendatipun demikian, berfikir tidak tergantung pada bahasa, meskipun bahasa dapat membantu perkembangan berfikir. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak terhadap objek-objek atau hubungan-hubungan dalam lingkungan, memperkenalkan mereka pada perbedaan cara pandang dan menanamkan informasi abstrak. Bahasa adalah salah satu alat dalam berfikir. Hal ini sebagaimana Wentsch (dalam Miller) menjelaskan, Although thching is not dependet on language, language can aid cognitive development. Language can direct children’s attention to new objects or relationship in the environment, introduce them to conflicting point of view, and impart abstract information that is not easily acquired directly. Language is one of mana tools in our cognitive toolkit (Patricia, 1993:53)

Menurut Vygostsky (Dworetzky, 1990:275) ada tiga tahap perkembangan bicara anak yang menentukan tingkat perkembangan berfikir dengan bahasa, yaitu tahap eksternal, egosentris dan internal. Tahap eksternal di mana sumber berfikir anak dalam berbahasa datang luar dirinya, misalnya saat ibunya mengajukan pertanyaan kepada anak, lalu anak berfikir untuk menjawabnya. Tahap egosentris di mana pembicaraan orang tidak lagi menjadi persyaratan awal terjadinya proses berfikir dan berbahasa. Tahap internal di mana anak menghayati sepenuhnya proses berfikir tanpa ada orang lain yang menuntutnya.

Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak akan berjalan seiring dengan pertambahan usia di mana anak mempunyai kebutuhan untuk bergaul dan berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, yang sebelumnya terbatas dalam tataran lingkungan keluarga. Untuk keperluan pergaulan ini anak membina hubungan dengan orang dewasa, membina hubungan dengan orang lain, membina hubungan dengan kelompok sebaya dan membina diri sebagai individu.

Pengenalan anak terhadap lingkungan di luar rumah akan membantu anak yang baru memasuki pendidikan pra-sekolah untuk lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan luar rumah memberi pengalaman kepada anak untuk mengenal aturan-aturan yang berbeda dengan lingkungan rumah, menemukan teman yang tidak memberi perhatian, mengalami sendiri bagaimana harus mengalah kepada orang lain, mengalami sendiri bagaimana harus mengikuti aturan-aturan sosial.

Pengalaman berinteraksi di luar rumah merupakan satu tahap membangun kemampuan menyesuaikan diri. Ketidak mampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, akan menyebabkan anak merasa terganggu mentalnya. Kondisi mental seperti ini sering terwujud dalam tindakan seperti mengompol, menangis, menjerit saat tidur, gelisah, selalu ingin ke belakang, tidak bergairah dan tidak senang berlama-lama berada dalam lingkungan luar rumah.

Menyadari akan pentingnya perkembangan sosial anak, maka perlu ada bimbingan dan latihan dari orangtua maupun guru untuk mencapai perkembangan sosial yang sehat. Perkembangan sosial yang sehat menurut Karen Horney (Mesta, 1999:25-29) terwujud dalam moving toward other, moving againts other dan moving away other secara fleksibel dan seimbang.

Perkembangan Kreativitas
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan gagasan baru yang asli dan imajinatif berdasarkan gagasan yang sudah ada. Menurut Gordon & Browne, apabila ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu anak untuk mengembangkan fleksibilitas dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil risiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.

Cara untuk mengembangkan fleksibilitas adalah dengan perlakuan guru yang tidak otoriter dan memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan pilihan, memberi kepercayaan untuk melakukan pilihan, membangun hubungan yang penuh keterbukaan sehingga anak menyaksikan sendiri sesuatu yang boleh berbeda. Pada mulanya anak biasa tidak ingin terlihat berbeda dengan orang lain karena ia tidak berani mengambil resiko akibat perbedaan tersebut. Akan tetapi, apabila guru terus mendorong anak untuk menentukan pilihan yang berbeda dan memberi penghargaan atas perbedaan itu, maka secara berangsur-angsur akan menumbuhkan kreativitas pada anak.

Perkembangan Emosi
Emosi berfungsi untuk mengkomunikasikan kebutuhan, suasana hati dan perasaan. Melalui ekspresi perasaan, anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, seperti menghormati orang lain, memperoleh hubungan dan memelihara hubungan sosial yang harmonis, serta menenangkan perasaan. Jika perkembangan emosi anak itu baik, mereka akan belajar bagaimana menggunakan kedalaman perasaan dengan tidak mengekspresikan secara berlebihan dan dapat mengikuti perasaan orang lain sehingga menumbuhkan pengertian dan kerja sama dengan orang lain.

Masing-masing anak mengekspresikan emosi sesuai dengan suasana hati dan pengaruh lingkungan, terutama pengalaman kelekatan dengan pengasuh (caregiver) dan teman-temannya.

Oleh karena itu, anak pra-sekolah selayaknya memperoleh bimbingan yang memadai dari guru dan orang tua untuk mengenal dan menerima perasaannya agar mereka belajar menghargai perasaan orang lain. Dalam hal ini teknik orangtua mengasuh (child rearing) dan gaya orangtua mengasuh (parenting style) anak sangat mewarnai perkembangan emosi anak prasekolah.

Perkembangan Kognitif
Kognitif dapat berarti kecerdasan, berfikir dan mengamati, yaitu tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan. Dengan pengertian ini, maka anak yang mampu mengkoordinasikan pelbagai cara berfikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dengan merancang, mengingatkan dan mencari alternatif bentuk penyelesaian persoalan merupakan tolak ukur perkembangan kognitif.

Apabila mengamati cara berfikir dan tingkah laku anak usia ini, maka cara berfikir mereka termasuk semi logis, yaitu setengah masuk akal (pra-logis). Keadaan ini oleh Jean Piaget, seorang ahli psikologi kognitif sebagai tahap pra–operasional, yaitu suatu tahap di mana proses berfikir anak berpusat pada penguasaan simbol-simbol (misalnya, kata-kata) yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu.

Piaget (Patricia, 1993:5356) menjelaskan karakteristik utama anak prasekolah adalah egocentrism regidity of thought, semological reasoning dan limites social cognition. Egosentris pada anak prasekolah tidak berarti mereka mementingkan diri sendiri, tetapi karena mereka tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain, misalnya saat anak berbicara satu sama lain dalam kelompok bermain tetapi di antara mereka tidak terjadi saling berinteraksi dalam topik pembicaraan. Mengenai karakteristik egosentris ini Piaget (dalam Miller) menjelaskan :

Egocentrism does not refer selfisness or arrogance, and Piaget does not usai it. In a derogatory wah. Tather, the term refers to (a) the incomplete differentiation of the self and the word, including other people, and (b) the tendecy to perceive, understand, and interpret the word in terms of the self. One impications is that the cuil cannot take another person’s perceptual or conceptual persektive.

Karakteristik kedua, regidity of thought yaitu kelakuan berfikir, yakni kecenderungan berfikir hanya pada satu pandangan dan mengabaikan pandangan yang lain (centration), misalnya ketika melihat air di gelas yang tinggi dan gelas yang pendek lebar, meskipun isi air di kedua gelas itu sama, anak tetap akan mengatakan bahwa air di gelas tinggi lebih banyak, karena anak hanya memandang dari satu sisi, yaitu ketinggian gelas dan mengabaikan pada isi yang terkadang dalam kedua gelas yang berbeda tersebut.

Centration dan egocentrism merefleksikan ketidak mampuan anak menghadapi beberapa segi dari suatu situasi pada saat yang bersamaan dan menyebabkan pandangan yang biasa. Anak pra-sekolah dalam memandang suatu keadaan lebih memfokuskan pada tampilan keadaan (focus states atau focus on apperance), bukan pada isi atau kenyataan di balik tampilan itu. Anak pra-sekolah berfikir hanya pada keadaan “sebelum” dan “sesudah”, tidak pada proses perubahan dari sebelum dan sesudah melihat tampilan suatu keadaan. Kekakuan berfikir ini karena mereka tidak dapat berfikir dari sisi kebalikannya (irreversible) dari suatu rangkaian kejadian atau perubahan bentuk. Piaget menjelaskan tentang centration dan egocentrism anak pra-sekolah sebagai berikut :

Centration and egocentrism are similar in that they both reflect an inability to deal with several aspect of a situation at the same time and that they both cause a biased view of the world. We also find a regidity, or lack of flexibility, or thought tn the tendecy to focus on states rather than on the transformation linking the states, the child thinks about the “before” and “after” states but ignores the process of changing from A to A, children focus on appearence rather tham reality. Interest in the appearance reality distinction made a “comeback”, within the recent study of children’s concept about the mind. Perhaps the clearest example of the regidity of thought is its lack of reversibility.

Semilogical reasoning merupakan cara berfikir anak pra-sekolah yang masih egosentris dan kaku dalam menjelaskan kejadian-kejadian alamiah sehari-hari dengan jalan melakukan personifikasi, misalnya bulan mempunyai kaki karena dapat berjalan mengikutinya.

Limited Social Cognition yaitu keterbatasan berfikir dalam menangkap peristiwa sosial. Anak pra-sekolah berfikir cenderung bersifat kuantitas dan serba fisik. Mereka belum dapat berfikir pada tataran abstrak yang bersifat kualitas. Piaget membuktikan keterbatasan anak pra–sekolah menangkap peristiwa sosial adalah saat anak mengatakan bahwa si A yang memechakn 1 lusin gelas ketika sedang membantu ibunya sangat bersalah, daripada si B yang memecahkan 1 buah gelas ketika sedang mencuri minuman ibunya.

Dengan perkembangan kognitif anak yang demikian, maka perkembangan moral anak pra-sekolah menurut Kohlberg berada pada pada pra-konvensional, yaitu suatu tahap yang mengawali untuk terbentuknya perilaku moral. Dengan demikian perkembangan kognitif sangat erat berkaitan dengan perkembangan moral.

Perkembangan Moral
Anak prasekolah menurut Piaget dalam perkembangan kognitif berada pada tahap pra-operational, sedangkan menurut Kohlberg dalam perkembangan moralnya berada pada tahap pra-convensional. Tahap ini mengindikasikasikan bahwa anak pra-sekolah belum memiliki kesadaran moral karena perkembangan berfikirnya masih sangat terbatas. Kalaulah anak usia ini melakukan aturan-aturan, hal tersebut bukan karena mereka faham bahwa aturan tersebut penting baginya, melainkan karena mereka ingin memperoleh pujian atau menghindari hukuman karena perbuatan tersebut. Moral anak pra-sekolah lebih mendasarkan diri pada prinsip meraih kesenangan (hedonism).

Anak pra-sekolah belum dapat menangkap ide yang mendasari mengapa aturan tersebut berlaku bagi dirinya. Semakin anak tersebut berkembang penalarannya, semakin terbukalah pemikirannya untuk menerima norma. Ini berarti terbentuknya moral seiring dengan berkembangnya pola berfikir mereka, karena penalaran moral seorang memacu timbulnya perbuatan moral (Knoers, 1994:305309).

Dengan mengenal perkembangan anak usia pra-sekolah baik dari segi fisik, motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi, kognisi dan moral, meskipun dengan paparan yang sangat terbatas dan singkat ini, kiranya dapat berguna untuk mengenal bagaimana pendidikan untuk anak pra-sekolah menurut tinjauan psikologis yang sesuai dengan perkembangan usia mereka.

Sejarah Perkembangan Pendidikan prasekolah 
Pada tahun 1990 an merupakan awal sejarah berdiri pendidikan prasekolah dengan tokoh terkenal yaitu Frobel dan Montessori. Maria Montessori adalah seorang dokter dan antropologi perempuan yang pertama. Ia memiliki pemikiran-pemikiran dan metode-metode pendidikan yang sampai saat masih populer di seluruh dunia. Montessori menjadi sangat berminat terhadap pendidikan anak sejak ia bekerja untuk anak-anak terbelakang mental, dan ternyata Montessori dapat menerapkan metode untuk anak-anak terbelakang mental itu kepada anak-anak normal. Minat besar Montessori terwujud dengan mendirikan sekolah sebagaimana Soemiarti Patmonodewo mengemukakan.

Sekolah yang pertama didirikan Montessori di Roma pada tahun 1907 dan dalam waktu singkat sekolah semacam itu berkembang di seluruh dunia. Apabila Frobel terkenal dengan Kindergartenya, Montessori menyebut sekolahnya dengan Casa Dei Ambini Montessori seperti Frobel memandang perkembangan anak usia dini sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Ia juga memahami bahwa pendidikan sebagai aktivitas diri, yang mengarah pada pembentukan disiplin pribadi dan kemandirian (Soemiarti, 2000:9-10).

Pendidikan anak model Montessori menurut Soemiarti Patmonodewo berlandaskan pada falsafah yaitu ingatan yang meresap (absorben mird), lingkungan yang disiapkan (the prepared environment), belajar mengorganisasi sendiri (auto education) dan memperhatikan masa peka anak (sensitive periode).

Absorben mind adalah prinsip yang penting dalam falsafah. Montessori. Ia percaya bahwa bayi telah mampu mengabsorsi stimulus lingkungan secara tidak sadar. Semakin usia bertambah, anak semakin menyadari ingatan yang kemudian mengorganisasikan dan menggeneralisasikan terhadap stimulus lingkungan. Contohnya anak mengenal ibunya meskipun ibu mengenakan pakaian yang berbeda. Atas dasar ini, maka seseorang ketika dewasa dapat mengingat dan menceriterakan peristiwa masa pra-sekolah karena usia tersebut dianggap masa mulai timbul kesadaran dan mulai dapat mengingat peristiwa. Semakin usia bertambah, semakin, sempurna pula daya mengingat peristiwa-peristiwa masa lalu.

Prepare environment adalah mempersiapkan lingkungan pembelajaran misalnya dengan penataan warna dan sarana yang memadai yang menumbuh kembangkan kreativitas anak. Menurut Montessori anak harus dapat mengenal kekayaan lingkungan. Dengan prinsip ini, misalnya jika anak hanya mengenal alat-alat permainan yang terbuat dari kaleng atau plastik yang tidak pecah, perbuatan itu sangat merugikan jiwa anak, sebab bukankah anak tersebut dapat memperlakukan cangkir kaleng atau plastik itu sekasar-kasarnya tanpa menyadari bahwa perbuatan tersebut kasar. Itulah sebabnya pendidikan model Montessori memerlukan biaya mahal yang biasa diselenggarakan oleh lembaga swasta di perkotaan.

Sensitive period adalah masa dalam perkembangan anak, di mana suatu konsep/pengertian tertentu lebih mudah dipelajari oleh anak karena mereka telah memiliki kesiapan (readness). Setiap anak berkembang pada masa yang berbeda. Falsafah dari Montesseri ini penting untuk menyelenggarakan pendidikan anak pra­-sekolah, sebab keberhasilan anak dalam pendidikan tergantung pada saat dimana seorang anak mengalami masa peka dan siap untuk menerima pelbagai penguasaan sebagai harapan orangtua terhadap anak-anak usia dini.

Jadi harapan orangtua terhadap pendidikan anak-anak harus menyesuaikan dengan masa kematangan dan kesiapan mereka, bukan malah hanya memenuhi kebanggaan orang tua dengan cara memaksakan harapan orangtua. Akibat harapan orangtua yang terlampau tinggi untuk anak seusia pra-sekolah, maka anak mungkin akan merasa terbebani oleh harapan orangtua yang terlampau idealis, padahal anak belum cukup umur dan belum siap untuk memenuhi harapan orangtuanya.

Di Indonesia kehadiran pendidikan pra-sekolah terkait dengan sejarah Belanda ketika menjajah negeri ini sebagaimana Patmonodewo mengemukakan:

Usaha pendidikan anak pra-sekolah di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1904 pada saat Pemerintah Hindia Belanda membuka kelas persiapan (Voorklas) yang fungsinya menyiapkan anak-anak memasuki HLS (bentuk sekolah rendah di Indonesia pada zaman Belanda). Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh gerakan di lingkungan Perguruan Taman siswa, mendirikan Taman Indria, yaitu suatu sarana pendidikan untuk anak pra-sekolah. Bersamaan dengan berdiri Taman Indria, berdiri pula Taman Kanak-kanak dengan nama Bustanul Athfal atau Raudhatul Athfal yang disponsori oleh organisasi-organisasi Islam.

Pada tahun 1950 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mulai ikut mengelola keberadaan pendidikan pra-sekolah dan mulai mengakui bahwa pendidikan pra-sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 4 tahun 1950 .tentang Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, juncto No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan di sekolah berikut ini:

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar di sekolah-sekolah Republik Indonesia. Di TK dan tiga kelas yang terendah di sekolah dasar, bahasa daerah boleh dipergunakan sebagai bahasa pengantar (pasal 5).

Menurut jenisnya, maka pendidikan dan pengajaran dibagi atas: Pendidikan dan Pengajaran TK, Pendidikan dan Pengajaran Rendah, Pendidikan dan Pengajaran Menengah, Pendidikan dan Pengajaran Tinggi serta Pendidikan dan Pengajaran Luar Biasa yang diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6).

Pendidikan dan Pengajaran TK bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani anak-anak sebelum ia masuk sekolah rendah (pasal 7). Pada tahun 1964 pemerintah mulai menyusun kurikulum TK yang sebelumnya hanya merupakan sebuah Pedoman Bermain seiring dengan berdirinya Sekolah Guru TK (SGTK). Cikal bakal ini berkelanjutan, di mana pemerintah berupaya terus untuk menyempurnakan kurikulum TK tahun 1968, kurikulum TK tahun 1976, kurikulum TK tahun 1984, dan kurikulum TK tahun 1994.

Dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (2) menyebutkan: pendidikan pra-sekolah yang diselenggarakan adalah untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup.

Peraturan Pemerintah No, 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah pada Bab I, Pasal 1, ayat (2) menyatakan:

Yang dimaksud dengan Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan pra-sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun menjelang memasuki pendidikan dasar.

Satuan pendidikan pra-sekolah meliputi Taman Kanak-Kanak, kelompok bermain dan Penitipan Anak. Taman Kanak-Kanak terdapat di jalur pendidikan sekolah, sedangkan kelompok Bermain dan Penitipan anak terdapat di jalur pendidikan luar sekolah.

Dalam kurikulum TK tahun 1994 menjelaskan bahwa pembinaan segi pendidikan anak pada Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan usaha kesejahteraan anak bagi Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Sosial. Lamanya pendidikan di TK adalah satu atau dua tahun sesuai dengan usia anak. Jika suatu TK memilih program satu tahun, TK tersebut dapat menyelenggarakan kelompok A (usia 4­ - 5 tahun) atau kelompok E (usia 5-6 tahun). Jika memilih program dua tahun, maka TK tersebut menyelenggarakan Program A dan B, masing-masing lamanya satu tahun.

Pelaksanaan pendidikan TK yang tercantum dalam kurikulum TK tahun 1994 mencantumkan antara lain :

(1) TK adalah salah satu bentuk pendidikan sekolah yang bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, perilaku, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan keluarganya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.

(2) Pendidikan TK tidak merupakan persyaratan untuk memasuki Sekolah Dasar

(3) Program pendidikan kelompok A dan kelompok B bukan merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap anak didik

(4) Pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip bermain sambil belajar, atau belajar seraya bermain, karena dunia nak adalah dunia bermain.

Dengan peraturan pemerintah, perundang-undangan yang berlaku maupun kurikulum yang secara terus menerus disempurnakan, berarti pemerintah menaruh disempurnakan, berarti pemerintah menaruh kepedulian yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan anak pra-sekolah dan kiranya setiap lembaga atau pihak yang terkait dan berminat menyelenggarakan pendidikan untuk anak pra-sekolah ini seyogyanya mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tentunya telah memperhatikan pemikiran dan temuan-temuan para pakar dibidang ini.

Dalam kenyataan di lapangan masih banyak TK yang berlomba menawarkan program yang menggiurkan orangtua dengan program yang belum tentu sesuai dengan perkembangan anak, bahkan hanya memenuhi kebanggaan orangtua saja. Misalnya TK yang menjanjikan anak-anak didiknya setelah lulus dari pendidikan akan pandai menulis, membaca, berbahasa asing dan pelbagai penguasaan lain yang umumnya menjadi trend zaman seperti bermain komputer, bermain piano, terampil matematik dengan metode kumon, pandai membaca al-qur’an dengan metode iqra dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, pada bagian berikutnya makalah ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana kepandaian baca tulis pada anak usia pra-sekolah menurut tinjauan psikologi.

Kepandaian Baca Tulis Anak Prasekolah 
Meskipun berfikir anak pada usia ini sudah berada pada tarah pra-operasional di mana anak sudah menguasai simbol-simbol (sign) yang tertangkap melalui bahasa verbal atau kata-kata, tetapi mereka belum dapat belajar berfikir secara kebalikannya dari perspektif orang lain. Itulah yang mengantarkan Piaget pada suatu kesimpulan bahwa masa anak pra-sekolah sebagai persiapan untuk tahapan berikutnya, this period as a time of preparation for the next stage.

Sebagai periode persiapan, maka pelbagai macam kegiatan dan bahan pelajaran dalam pendidikan pra­sekolah sifatnya terbatas pada aspek pengenalan dan persiapan, bukan pada hasil yang ditargetkan. Orang tua atau sekolah yang terlampau mengharapkan dan mentargetkan anak-anak agar menguasai kepandaian tertentu, misalnya anak harus pandai membaca, menulis, berhitung, menggambar dengan bagus dengan pengawasan yang sangat ketat, akan membuat anak frustrasi dan hilang semangat untuk belajar. Kalaupun anak mampu memenuhi harapan orangtua yang kemudian orang tua menjadi bangga karenanya, maka kebanggaan orangtua tersebut belum tentu merupakan panggilan hati dan kesenangan anak-anak. Situasi pendidikan seperti inilah yang membuat psikologis anak tidak sehat.

Menyadari akan bahaya psikologis pada anak-anak pra-sekolah, maka kurikulum TK 1994 telah berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan anak pra-sekolah sebagaimana prinsip-prinsip psikologi perkembangan, terutama mengikuti frame teori Piaget. Dalam kaitan ini kurikulum TK 1994 menyatakan:

Taman Kanak-Kanak bukan sekolah. TK merupakan tempat bermain sambil belajar, sedangkan Sekolah Dasar merupakan tempat belajar. Di TK tidak diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung/matematika seperti di SD, yang diberikan di TK adalah usaha atau kegiatan persiapan membaca dan menulis serta permulaan berhitung/matematika. Dalam kegiatan ini di TK dibatasi pada usaha meletakkan dasar-dasar kesanggupan membaca, menulis dan berhitung/matematika. Setelah anak mengikuti program pendidikan TK, anak diharapkan telah memiliki kesanggupan-kesanggupan dan pengetahuan tertentu yang memungkinkan ia dapat mengikuti pelajaran permulaan membaca, menulis dan berhitung/matematika tanpa banyak kesulitan. Kegiatan-kegiatan di atas harus dilakukan dengan menyenangkan, misalnya melalui bernyanyi, bermain, mengucapkan syair, pengenalan menulis dan berhitung sambil melihat-lihat gambar yang sesuai dengan minat anak.

Menurut Vygotsky (Dworetzky, 1990:27), manusia lahir dengan seperangkat fungsi kognitif kasar yaitu kemampuan untuk memperhatikan, mengamati dan mengingat. Dengan kemampuan dasar itu lingkungan tinggal mentransformasi alam bentuk interaksi atau pengajaran dengan menggunakan bahasa.

Pendapat vygotsky tersebut di atas meskipun memberi peluang optimis untuk pendidikan anak pra-sekolah, namun ia tidak menjelaskan lebih rinci kapan idealnya anak menerima pengajaran baca tulis dengan seperangkat kemampuan kognitif kasar yang diperoleh sejak lahir itu. Oleh karena itu hanya dengan mengandalkan pendapat Vygotsky kiranya sangat lemah untuk melegalisasi kepandaian baca tulis pada pendidikan anak pra-sekolah.

Akan tetapi Montessori (Soemiarti, 2000:10) percaya bahwa sebaiknya membaca diajarkan pada anak sejak dini dan periode yang tepat adalah pada usia 2 – 6 tahun, karena masa tersebut dianggap sebagai masa sensitif (sensitive peroid) untuk belajar membaca. Meskipun demikian, Montessori berperan, “pendidikan seharusnya tidak dibebankan kepada anak. Dengan lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan anak bereaksi secara bebas dan mengembangkan dirinya sendiri dalam garis-garis pikirannya sendiri. Maka harus ada kebebasan dalam lingkungan yang telah dipersiapkan (prepared environment) tersebut untuk pengembangan fisik, mental, dan perkembangan spiritualnya. Kemungkinan mengajarkan membaca untuk anak usia dini juga perlu ditunjang oleh metode yang sesuai dengan perkembangan mereka sebagaimana pendapat Sumadi Suryabroto (1994:153), bahwa sebetulnya sangat mungkin anak umur 3 - 4 tahun diajarkan membaca, asal dipakai cara-cara yang tepat serta kriteria dan didaktiknya disesuaikan.

Memperhatikan pendapat-pendapat yang berbeda seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa boleh tidaknya pengajaran membaca untuk anak prasekolah seyogianya dengan memperhatikan kesiapan (readness) anak itu sendiri, yang tidak selalu harus seiring dengan usia kalender (cronological ages), akan tetapi lebih terkait dengan usia mental (mental ages). Artinya, anak sudah mencapai kesiapan untuk membaca bukan karena usia mereka sekian tahun, tetapi apakah secara mental anak terlihat siap untuk menerima pengajaran membaca.

Dengan demikian, boleh jadi anak secara usia kalender belum saatnya menerima pengajaran membaca, akan tetapi secara mental mereka memiliki semangat dan mudah menerima pengajaran membaca. Maka dalam hal kesiapan ini cenderung bersifat individual, sehingga institusi sekolah tidak boleh menerapkan pengajaran membaca secara klasikal sama rata untuk anak didik di TK.

Di samping perlu memperhatikan kesiapan anak, faktor kecerdasan anak juga sangat menentukan terhadap efektivitas pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah, sebab pada anak-anak yang sangat cerdas dalam usia yang sangat muda seringkali mereka "secara main-main" sudah belajar membaca sebelum mereka masuk sekolah. Kasus semacam ini agaknya yang terjadi pada para sahabat Nabi, di mana pada usia yang sangat muda mereka sudah dapat menghafal sekian ayat Al-­Qur’an atau sekian jumlah hadits, karena lingkungan saat itu sangat menunjang, sehingga anak-anak dengan usia yang sangat belia mungkin dengan cara tidak sengaja mereka sudah terbiasa belajar baca tulis.

Dengan memperhatikan rambu-rambu kesiapan dan kecerdasan anak-anak, maka metode pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah patut menyesuaikan dengan potensi anak yang secara individual tentu berbeda. Dalam perspektif inilah pengajaran membaca dapat diselenggarakan pada pendidikan anak pra-sekolah bukan untuk memenuhi kebanggaan orang tua atau institusi, tetapi karena sesuai kemampuan dan kebutuhan anak

Berdasarkan tinjauan psikologis, kiranya kurikulum TK patut menjadi acuan pendidikan pra-sekolah secara klasikal, karena bimbingan khusus untuk anak-anak yang tergolong cerdas tidak dapat dilakukan secara klasikal, tetapi lebih bersifat individual, dengan tetap memperhatikan aspek bermain. Untuk itu, pendidikan pra-sekolah harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :

(1) TK merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah. Untuk itu TK perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan.
(2) Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang bersifat individu sesuai dengan kebutuhan anak usia pra-sekolah
(3) Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan belajar
(4) Kegiatan belajar di TK adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari.
(5) Sifat belajar di TK merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah
(6) Bermain merupakan cara paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik (Soemiarti, 2000:69-70)
Bermain mempunyai makna penting bagi perkembangan anak pra-sekolah. Frank dan Teresa Caplan (Moeslihatoen, 1999:25) menjelaskan ada enam belas (16) makna bermain pertumbuhan anak yaitu :
(1) Bermain membantu pertumbuhan anak
(2) Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela
(3) Bermain memberi kebebasan anak untuk bertindak
(4) Bermain memberikan dunia khayal yang dapat dikuasai
(5) Bermain meletakkan dasar pengembangan bahasa
(6) Bermain mempunyai pengaruh yang unik dalam pembentukan hubungan antara pribadi
(7) Bermain memberi kesempatan anak untuk menguasai diri secara fisik
(8) Bermain memperluas minat dan pemusatan perhatian
(9) Bermain mempunyai unsur berpetualang di dalamnya
(10) Bermain merupakan cara untuk menyelidiki sesuatu
(11) Bermain merupakan cara untuk mempelajari peran orang dewasa
(12) Bermain merupakan cara dinamis untuk belajar
(13) Bermain menjernihkan pertimbangan anak
(14) Bermain dapat di struktur secara akademis
(15) Bermain merupakan kekuatan hidup
(16) Bermain merupakan sesuatu yang esensial bagi kelestarian hidup manusia.

DAFTAR PUSTAKA
BM dan Newman, PR. Infancy and Childhood. New York : Jauh Wiley & Sons 1978
Biechler, RF & Snowman, J. Psychology Applied Teaching. Toronto: Houghton Mifflin Company 1993
Dworetzky, Jauh F. Introduction to Child Development. New York : West Publishing Company 1990
Gordon, Ann Milles and Katheryn Williams Browne. Beginning and Beyond : Foundations in Early Chilhood Education. New York : Delmar Publisher 1985
Hildebrand, Verna. Introduction to Early Childhood Education. New York : McMilan Publishing Company 1986
Miller, Patricia H. Theories of Developmental Psychology. New York. WH. Freeman and Company 1993.
Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditono. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : UGM Press. 1994.
Moeslihatoen R. Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta. Rinkea Cipta. 1999.
Noor, Mahpuddin, Ciptakan Suasana Religius di Lingkungan Keluarga, Media Pembinaan, Edisi Bulan Juni 2006.
Limbong, Mesta P. Kesehatan Mental Khususnya Mereka yang baru Memasuki Pendidikan Prasekolah ditinjau dari Teori Interpersonal Karen Horney, Jurnal) Dinamika Pendidikan. Jakarta UKI. 1999.
Patmonodewa Soemiarti. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta 2000.
Suryobroto, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Rake Sarasin 1994.
Team. Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang Pendidikan TK. Jakarta. Depdikbud 1994
Weton, David & Mallan, Jauh, T. Children and Their Word Strategis for Teaching Social Studies. New Jersey : Houghton Mifflin Company Boston. 1982.
Promo menjual jas koko bordir | Baju Koko Gaul.